Menghafal Qur'an Itu Seperti Lari Marathon

“Seringkali kita memaksa anak untuk melakukan sesuatu yang kita butuhkan namun tidak disukai oleh anak kita, semisal mengajak mereka ke kondangan, mengajak mereka untuk ikut kegiatan kita seharian, hingga bahkan, maaf, menghafal al-Qur’an”, tutur Kyai Abuhasanuddin dalam acara mawali Madina Ibnu Katsir yang digelar di masjid Nur Inka Brigif pada 5 Februari lalu.

“Coba sekarang jujur, yang ingin anaknya hafal al-Qur’an, siapa? yang butuh anaknya menjadi penghafal al-Qur’an, siapa? yang akan mendapatkan aliran pahala ketika anaknya menjadi penghafal al-Qur’an yang mutqin, siapa? Hayo, siapa?”, tanya Kyai kepada jamaah wali murid Madina Ibnu Katsir. Para wali murid dengan lirih menjawab bahwa merekalah yang menginginkannya.

“Lalu kenapa anak malah dibuat takut dengan al-Qur’an? betapa kita menjadi sosok yang begitu galak bagi anak ketika mereka mendampingi mereka mengaji. Kita marahi mereka saat mereka tidak mencapai target. Kita marahi mereka saat mereka tidak mau mengaji, padahal jumlah mereka mengaji kita dengan mereka jauh lebih banyak mereka lho… apalagi dengan hafalan kita. Di usia mereka, apa yang kita bisa?”, tanya Kyai kepada jamaah. “Kita selalu menginginkan mereka untuk mencapai apa yang kita mau kepada mereka, namun kita jarang sekali memenuhi apa yang mereka inginkan dari kita. Benar atau tidak?”, pungkas beliau.

Kata demi kata yang disampaikan oleh beliau membuat tidak sedikit dari jamaah yang menitikkan air mata. Kyai mengajak para orang tua untuk lebih sabar lagi dengan proses yang dilalui oleh anak-anak mereka yang berjuang menghafalkan al-Qur’an. Menghafalkan al-Qur’an bukanlah proses singkat dan mudah. Perlu nafas yang panjang dan tenaga yang besar. Kyai mengibaratkan bahwa proses menghafal itu seperti lari marathon, bukan lari sprint jarak pendek, sehingga yang terlihat cepat menghafal belum tentu dia akan mencapai finish. Begitupula dengan yang terlihat susah dan lama saat menghafal, bisa jadi ia malah nanti mencapai 30 juz dengan baik dan mutqin.