
Resume Kajian Ustadz Heri Yudi oleh Puji dan Afifah, Mahasantri Ibnu Katsir 2
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.
[Al Hujurat : 3]
Adakah kesempatan bagi kita untuk bisa menjadi manusia yang hidup mulia? apalagi ketika kita melihat kondisi orang-orang terdahulu, seakan-akan kesempatan kita untuk menjadi manusia yang mulia ini sudah habis.
Jika demikian, apalah arti kita hidup bila kesempatan untuk menjadi orang mulia ini sudah habis?
Itulah mengapa pada awal ayat dijelaskan tentang harapan besar bahwa kita bisa menjadi orang mulia. Masih ada peluang bagi kita walaupun peluang itu sudah diambil oleh orang-orang terdahulu.
Lantas dimanakah letak peluangnya?
Dalam ayat tersebut Allah mengatakan “ ya ayyuhannas”, yang mana panggilan ini dituju kepada manusia.
Ketika kita mengambil ma’kna bahwa annas itu manusia, maka kita bisa terbentur- bentur dengan ungkapan yang lain. Karena kondisi lain manusia kadang disebut dengan an-naasu, kadang juga dengan kata-kata al-insanu, bahkan tak jarang disebut dengan Al-basyar.
Hal yang menarik pemikiran kita ialah sama-sama manusia tetapi dengan sebutan dan fungsi yang berbeda. Ketika kita mendapati makna yang sama dengan fungsi yang berbeda artinya, kita harus memahaminya secara teliti.
Allah mengatakan ya “ayyuhannas” bukan mengatakan al-insan ataupun al-basyar. Karena al-basyar sendiri berarti kondisi manusia secara biologis, manusia yang tidak mempedulikan apakah itu benar atau salah. Berbeda ketika manusia disebut dengan al-insan, dimana seseorang bisa membedakan mana yang benar dan salah.
Sedangkan an-nas berarti kondisi manusia secara sosial, Dimana manusia membutuhkan orang lain untuk berinteraksi. Sebutan an-nas ini memiliki arti umum, yang berarti semua manusia masuk dalam kategori an-nas ini.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa, peluang untuk menjadi orang yang mulia masih terbuka lebar. Allah menciptakan kita dari seorang laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kita saling mengenal. Mulia tidaknya seseorang tidak bisa dilihat dari bangsa ataupun penampilannya, melainkan dari tingkat ketakwaannya kepada Allah SWT.
Suatu ketika, Rasulullah ﷺ ditanya oleh para sahabat, mereka bertanya “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling mulia itu?”
Rasululahﷺ menjawab “Orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertakwa dihadapan Allah SWT”.
Mendengar jawaban Rasulullahﷺ para sahabat kembali berkata “Bukan itu wahai Rasulullah”.
Rasulullahﷺ pun menjawab lagi, “Kalau begitu, yang paling mulia adalah Nabi Yusuf a.s”.
Jawaban yang diberikan oleh Rasulullah tersebut ternyata bukan yang dimaksudkan oleh para sahabat, para sahabat pun kembali berkata “Bukan itu wahai Rasulullah, bukan itu yang kami tanyakan”.
Mendengar para sahabat yang tidak kunjung puas dengan jawaban yang telah diberikan, Rasulullahﷺ pun berkata “Apakah yang kalian tanyakan adalah tentang orang Arab? Jika memang benar, maka yang paling bertakwa adalah dia yang menjadi orang terbaik di masa jahiliyahnya dan tetap menjadi orang yang terbaik ketika berada di masa islamiyahnya”.
Lalu, bagaimana dengan kita? Haruskah kita merasakan masa jahiliyah dahulu, sehingga kita menjadi orang yang mulia ? ataukah kita harus menjadi seperti Nabi Yusuf yang dilemparkan ke sumur oleh saudara-saudarnya, lantas kita menjadi orang yang mulia?
Jawabannya adalah tidak, yang perlu kita lakukan hanyalah terus berusaha menjadi pribadi yang baik.
Kunci menjadi pribadi yang baik adalah dengan menjaga hati dan amalan kita. Allah ﷻ tidak melihat hamba-Nya berdasarkan harta, penampilan, ataupun yang lainnya. Akan tetapi, Allah SWT melihat pada hati dan amal perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hambanya.
Jika kita mampu menjaga hati dan amalan kita, maka kita akan menjadi ‘Ibadurrahman (hamba- hamba Arrahman ) , ‘Ibadurrahman itu sendiri memiliki ciri-ciri tersendiri yaitu
(1) memiliki sikap rendah hati dan tidak membuat kerusakan di bumi,
(2) apabila ada orang yang jahil atau bodoh mendebatnya, orang yang ‘Ibadurrahman akan menanggapinya dengan perkataan yang baik dan santun,
(3) ciri yang ketiga adalah, senantiasa mendirikan malam-malamnya dengan sujud dan ruku’ kepada Allah SWT.