Perjalanan Dahsyat yang Mengubah Dunia | Pengajian Ikadi Edisi Januari

Ringkasan materi kajian KH. Abdul Aziz oleh Zulfa, Mahasantri Ibnu Katsir 2

Isra’ Mi’raj adalah peristiwa luar biasa dalam sejarah Islam, yang dimulai dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina dengan kendaraan khusus bernama Buraq. Perjalanan ini kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha, langit tertinggi, untuk menerima perintah shalat lima waktu. Setiap tahun, umat Islam mengenang peristiwa ini dengan penuh kemeriahan, mengingat hikmah dan pesan mendalam di baliknya. Namun, apa yang membuat hati Rasulullah SAW perlu dihibur melalui perjalanan ini? Apa yang terjadi sebelum Isra’ Mi’raj?

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Isra’ ayat 1:

اللَّذِيِ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ الْسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Ayat ini menegaskan tujuan utama Isra’, yaitu memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah kepada Rasulullah SAW. Adapun Mi’raj, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Najm ayat 18:

لَقَدْ رَآى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

“Sungguh, dia (Muhammad) telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.”

Isra’ Mi’raj bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang menguatkan hati Rasulullah SAW di tengah cobaan yang bertubi-tubi.

Dalam buku Ar-Raheeq Al-Makhtum karya Al-Imam Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, dijelaskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada masa yang disebut sebagai ‘Amul Huzun (Tahun Kesedihan). Pada tahun itu, Rasulullah SAW menghadapi berbagai ujian berat.

Kaum Quraisy memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthalib selama tiga tahun, melarang mereka berdagang atau menerima bantuan dari luar. Mereka diusir ke lembah Abu Thalib, hidup dalam kelaparan, bahkan harus memakan daun-daun kering untuk bertahan hidup. Tangisan anak-anak kelaparan terdengar hingga ke luar lembah, sementara orang dewasa bertahan dalam keprihatinan yang mendalam.

Setelah pemboikotan berakhir, kesedihan Rasulullah SAW semakin mendalam dengan wafatnya dua sosok terpenting dalam hidupnya: Abu Thalib, paman yang selalu melindunginya, dan Khadijah, istri tercinta yang setia mendukungnya. Dua insan mulia ini bagaikan sayap pelindung bagi Rasulullah: Abu Thalib yang melindunginya di luar rumah, dan Khadijah yang memberikan kenyamanan di dalam rumah.

Perihal Abu Thalib, dalam Tafsir Qurthubi, Imam Qurthubi menceritakan sebuah kejadian saat Rasulullah ﷺ hendak pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan sholat. Tiba-tiba, Abu Jahal berteriak di hadapan orang banyak, “Siapa yang berani menghentikan Muhammad dari sholat?” Tantangan itu dijawab oleh Abdullah bin Sibahra, yang kemudian mendekati Rasulullah ﷺ sambil membawa kotoran unta. Dengan penuh penghinaan, ia membasuhkan kotoran itu ke wajah Rasulullah ﷺ.

Rasulullah ﷺ menghentikan sholatnya dan segera pergi menemui pamannya, Abu Thalib. Beliau mengadu, “Wahai pamanku, tahukah engkau apa yang telah mereka perbuat kepadaku?” Melihat wajah Rasulullah ﷺ yang ternoda kotoran, Abu Thalib pun bertanya, “Wahai Muhammad, siapa yang melakukan ini kepadamu?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Abdullah bin Sibahra.”

Mendengar itu, Abu Thalib segera mengambil pedangnya dan menyandangkannya di pundaknya. Dengan penuh kemarahan, ia pergi menemui para pembesar Quraisy, termasuk Abu Jahal yang berada di sana. Saat melihat Abu Thalib datang dengan membawa pedang, mereka langsung berdiri karena menyadari ada masalah besar yang akan terjadi.

Abu Thalib berkata dengan lantang, “Jika ada satu saja di antara kalian yang tidak tunduk padaku, maka aku akan menghabisi leher kalian!” Setelah itu, ia menoleh kepada Rasulullah ﷺ dan bertanya, “Wahai Muhammad, siapa yang melakukan ini kepadamu?” Rasulullah ﷺ menunjuk Abdullah bin Sibahra.

Tanpa ragu, Abu Thalib mengambil kotoran unta yang telah dibasuhkan ke wajah Rasulullah ﷺ, lalu membalas dengan membasuhkannya ke wajah Abdullah bin Sibahra dan para pembesar Quraisy lainnya. Setelah kejadian itu, Abu Thalib membawa Rasulullah ﷺ pulang.

Ketika mereka tiba di rumah, turunlah firman Allah dalam Surah Al-An’am ayat 26:

‌وَهُمۡ يَنۡهَوۡنَ عَنۡهُ وَيَنۡـَٔوۡنَ عَنۡهُ

“Dan mereka melarang (orang lain) mendekatinya (Rasulullah), dan mereka sendiri menjauh darinya.”

Rasulullah ﷺ berkata kepada Abu Thalib, “Wahai pamanku, telah turun ayat yang berkenaan denganmu.” Abu Thalib bertanya, “Apa ayatnya?” Rasulullah ﷺ membacakannya. Abu Thalib pun meminta penjelasan tentang maksud ayat tersebut. Rasulullah ﷺ menjelaskan, lalu bertanya kepada pamannya mengapa ia tetap enggan beriman meskipun selalu membela beliau.

Abu Thalib menjawab dengan keyakinan, “Selama aku masih hidup, kaum Quraisy tidak akan berani mengganggumu. Aku juga yakin bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran, karena engkau selalu jujur.”

Sebagian pendapat menyatakan bahwa Abu Thalib meninggal dalam keadaan tidak beriman. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ia sempat mengucapkan syahadat sebelum wafat. Setelah kepergian Abu Thalib, gangguan kaum Quraisy terhadap Rasulullah ﷺ semakin menjadi-jadi.

Sayap pelindung lain bagi Nabi ﷺ adalah Sayyidah Khadijah, yang selalu memberikan kenyamanan di rumah, terutama saat Nabi ﷺ merasa gelisah.

Pada masa-masa penyendirian Nabi ﷺ sebelum turunnya wahyu pertama, Sayyidah Khadijah selalu setia menyiapkan bekal untuk beliau. Ketika Nabi ﷺ pulang setelah bermalam-malam di Gua Hira, ia menyambutnya dengan penuh kasih dan memberikan kenyamanan.

Setelah menerima wahyu pertama, Nabi ﷺ pulang dalam keadaan bergetar, diliputi kekhawatiran yang mendalam. Dalam momen itu, dengan lembut Sayyidah Khadijah berkata,
“Tenanglah, Allah sekali-kali tidak akan membuatmu sedih. Karena engkau adalah orang yang menjaga silaturahim, sering membantu mereka yang kesusahan, menghormati tamu, dan selalu mendukung kebenaran.”

Ucapan penuh kasih dan keyakinan dari Sayyidah Khadijah menenangkan hati Rasulullah ﷺ, memberikan kedamaian di tengah kekhawatirannya.

Setelah kehilangan dua pendukung utama, Rasulullah SAW mencoba berdakwah ke kota Thaif, berharap mendapat sambutan baik. Namun, yang beliau temui justru penghinaan. Rasulullah dilempari batu hingga terluka, bahkan anak-anak kecil turut mengolok-oloknya.

Di tengah kesedihan itu, malaikat Jibril datang menawarkan untuk membalas penduduk Thaif. Namun, Rasulullah dengan penuh kasih sayang berdoa:

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui siapa aku.”

Doa ini mencerminkan kelembutan hati Rasulullah SAW meskipun menghadapi penolakan dan kekerasan.

Di tengah kesedihan yang mendalam, Allah SWT menghibur Rasulullah SAW dengan perjalanan Isra’ Mi’raj. Perjalanan ini membawa Rasulullah bertemu dengan para nabi terdahulu, menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah, dan akhirnya menerima perintah shalat lima waktu. Peristiwa ini menghapus luka-luka di hati beliau, menggantinya dengan kebahagiaan yang tak terhingga saat berjumpa dengan Allah SWT.

Setelah kembali dari Isra’ Mi’raj, Rasulullah menceritakan pengalaman tersebut kepada kaum Quraisy. Sebagian besar dari mereka menolak mempercayainya, bahkan menuduhnya berdusta. Namun, Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan tegas berkata, “Jika Nabi yang mengatakannya, maka aku percaya.” Karena keyakinannya ini, Abu Bakar mendapat gelar Ash-Shiddiq (yang membenarkan).

Isra’ Mi’raj mengajarkan kita tentang pentingnya kesabaran, keimanan, dan kasih sayang. Rasulullah SAW, meskipun menghadapi ujian berat, tetap teguh dalam berdakwah dan mendoakan kebaikan bagi umatnya. Perintah shalat lima waktu yang diterima dalam perjalanan ini menjadi hadiah istimewa bagi umat Islam, sebagai pengingat akan hubungan langsung antara hamba dengan Tuhannya.

Peristiwa Isra’ Mi’raj bukan hanya sekadar perjalanan sejarah, tetapi juga simbol penghiburan ilahi yang penuh makna. Semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya dan menjadikannya inspirasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.