Ringkasan materi Ustadz Kusnadi Ikhwani Oleh Ika, Mahasantri Ibnu Katsir 2

Masjid sering dijadikan tolak ukur keberhasilan dakwah di suatu wilayah. Semakin makmur dan ramai jamaahnya, semakin hidup pula denyut keislaman di tengah masyarakat. Itulah pesan utama dalam kajian Majlis Dhuha yang digelar pada Ahad pagi, 4 Mei 2025 di Aula Puslit Kopi dan Kakao Indonesia bersama Ustadz Kusnadi Ikhwani, ketua takmir Masjid Raya Al Falah Sragen yang viral di media sosial akan pelayanannya yang luar biasa.

Dalam kajian tersebut, Ustadz Kusnadi menegaskan bahwa masjid bukan hanya tempat ibadah, melainkan pusat peradaban. “Ketika Rasulullah tiba di Madinah, hal pertama yang dibangun adalah masjid. Bukan sekadar tempat shalat, tapi pusat pemerintahan, pendidikan, dan pelayanan umat,” ujarnya.

Berangkat dari pemahaman itu, Ustadz Kusnadi menceritakan transformasi yang ia lakukan saat ditunjuk sebagai takmir Masjid Al-Falah pada April 2016. Prinsipnya sederhana tapi mendalam: “Mengelola masjid harus lebih baik daripada mengelola perusahaan.” Hal ini ia buktikan dengan mengadopsi manajemen profesional yang ia pelajari dari pengalamannya di lembaga amil zakat.

Langkah pertamanya saat itu adalah mengupayakan dana operasional dan menggaji para pengurus masjid, meskipun sempat ditentang masyarakat. “Ngurus masjid kok dibayar,” ujar beberapa jamaah waktu itu. Bahkan program makan gratis pun sempat ditolak. Namun, ia tidak menyerah. Ia kemudian melakukan studi banding ke berbagai masjid di dalam dan luar negeri, termasuk ke Timur Tengah, dan mendapati bahwa para imam dan marbot di sana digaji dengan layak.

Berangkat dari temuan itu, beliau pun mendirikan Akademi Marbot Masjid Muhammadiyah (AMMM) yang diikuti oleh lebih dari 600 peserta. Akademi ini menjadi tempat belajar bagi siapa pun yang ingin serius berkiprah dalam dunia kemasjidan. Lulusan yang memenuhi standar kemudian ditempatkan di berbagai masjid Muhammadiyah dan digaji secara profesional.

Salah satu gagasan menarik yang berulang kali ditekankan oleh Ustadz Kusnadi dalam kajian ini adalah pentingnya menyediakan “5I” untuk memakmurkan masjid, khususnya agar lebih ramah terhadap anak-anak muda. Apa itu 5I?

GajI – Para imam, takmir, dan marbot harus dihargai secara layak, bukan semata karena kerja sukarela. Ini akan menarik profesional muda untuk terlibat serius.

KonsumsI – Program makan gratis bisa menjadi daya tarik besar untuk menarik jamaah, sekaligus menjalin keakraban sosial.

WifI – Fasilitas internet gratis menjadikan masjid sebagai ruang produktif bagi generasi digital.

KopI – Ruang santai dengan kopi sebagai media diskusi bisa menjadikan masjid lebih inklusif dan nyaman bagi anak muda.

IstrI/SuamI – Salah satu cara ‘mengikat’ anak-anak muda dan para imam untuk berkontribusi lebih dalam di masjid adalah dengan membantu mencarikan pasangan hidup. Tentu melalui jalur yang baik dan sesuai syariat.

Dengan pendekatan 5I ini, masjid tidak lagi dianggap kaku dan asing bagi generasi muda. Bahkan, berbagai program inovatif seperti memberikan uang jajan kepada anak-anak yang rutin sholat berjamaah tiga waktu (Subuh, Maghrib, dan Isya) pun dilakukan. Jika mereka berhasil mengajak orang tuanya ke masjid, mereka diajak jalan-jalan ke tempat wisata. Hasilnya, semangat ke masjid pun meningkat drastis.

Beberapa terobosan lainnya seperti program “Shubuh Berhadiah Umroh” juga sukses meningkatkan kehadiran jamaah. Program ini memberi hadiah umroh bagi jamaah yang konsisten tidak pernah absen sholat Subuh berjamaah selama 40 hari berturut-turut. Meski membutuhkan biaya besar, Ustadz Kusnadi yakin, “Kalau niatnya memakmurkan masjid, Allah pasti bukakan jalan.”

Masjid harus dikelola dengan cara yang berani, kreatif, dan profesional. Dengan manajemen yang baik, masjid akan kembali menjadi pusat peradaban—tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin membangun umat, dimulai dari hal yang paling sederhana: meramaikan rumah Allah.