Menabur Cahaya Al-Qur’an dari Jember ke Lamongan: Presentasi Madina Ibnu Katsir di Mahad Ali Namirah

Ahad pagi, 29 Juni 2025. Udara Lamongan masih segar ketika aula serbaguna Mahad Ali Namirah mulai ramai oleh para peserta yang datang. Sekitar 30 orang yang terdiri dari pengurus yayasan, pengurus Mahad Ali, santri, dan asatidz telah duduk dalam suasana santai namun serius, untuk menggali inspirasi dari Madina Ibnu Katsir, yang mempelopori sekolah SD dengan kurikulum hafalan Al Quran 30 Juz.

Yayasan Namirah saat ini sedang menyusun fondasi untuk mendirikan lembaga pendidikan setingkat TK dan SD. Maka, mereka membuka pintu seluas-luasnya terhadap referensi dan pengalaman dari berbagai lembaga lain. Dan nama Madina Ibnu Katsir termasuk dalam daftar utama rujukan mereka—terutama karena reputasinya dalam mengembangkan program tahfidz Al-Qur’an di 6-7 tahun terakhir ini.

Pada kesempatan itu, Ustadz Syamsul Haidi, S.Pd.I al-Hafizh—Mudir Madina Ibnu Katsir—hadir secara langsung untuk mempresentasikan profil dan program Madina. Beliau datang bersama Kyai Abuhasanuddin, S.Pd., al Hafizh yang juga mengisi kajian Ahad pagi di lokasi yang sama. Kehadiran beliau menjadi jembatan langsung untuk mengenalkan seperti apa sebenarnya Madina Ibnu Katsir: dari latar belakang berdirinya, cita-cita pendirinya, hingga program-program unggulan yang telah dilaksanakan.

Presentasi berlangsung selama dua jam setengah. Satu jam pertama digunakan untuk pemaparan, selebihnya adalah sesi diskusi yang begitu hidup dan mendalam. “Saya pikir paling hanya satu jam atau satu setengah jam,” kata Ustadz Syamsul, “tapi ternyata sangat lama karena banyak sekali pertanyaan.” Bahkan kyai Abu yang mengisi kajian pun sampai terheran, “Apa saja yang didiskusikan sampai selama itu?”

Fokus utama presentasi adalah mengenalkan bagaimana Madina menjalankan kegiatan belajar mengajar selama enam tahun di tingkat SD, terutama dengan kekhasan program tahfidz-nya. Peserta sangat ingin tahu bagaimana sistem itu bekerja, apa saja metode yang digunakan, dan bagaimana Madina memastikan anak-anak bisa menghafal 30 juz di usia SD.

Dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan—sekitar 20 pertanyaan dalam sesi diskusi—ada satu yang paling membekas bagi Ustadz Syamsul: “Bagaimana tips mengantarkan anak-anak menyelesaikan 30 juz di usia SD?”

Jawaban beliau begitu gamblang dan realistis. “Kuncinya ada pada tiga komponen yang tidak boleh ada yang tertinggal: sekolah, orang tua, dan anak itu sendiri,” tegasnya. Sekolah harus memiliki program yang jelas, guru yang cukup, serta rasio ideal antara murid dan pengajar. Orang tua harus terlibat dan mendukung. Anak pun harus dibimbing agar memiliki semangat dan kesungguhan. “Kalau target besar, maka waktu belajarnya juga harus besar. Di Madina, anak-anak mengaji bisa sampai tiga jam setiap hari. Tidak bisa disamakan dengan sekolah umum yang hanya satu jam pelajaran,” tambahnya.

Bagi Ustadz Syamsul, kesempatan berbagi seperti ini adalah bagian dari semangat menyebarkan dakwah Al-Qur’an ke seluruh penjuru negeri. “Kita ingin menyiarkan kebaikan. Kita semangat mendakwahkan Al-Qur’an, menjadi wasilah munculnya generasi pemimpin hebat masa depan,” ucapnya penuh harap.

Beliau juga menegaskan bahwa yang dibawa oleh Madina bukan sekadar metode, tetapi semangat. Semangat untuk mencetak generasi pecinta Al-Qur’an, semangat untuk menghadirkan lembaga pendidikan yang tidak hanya kuat secara akademik, tetapi juga kokoh dalam nilai-nilai keimanan dan adab.

Harapannya, apa yang telah dimulai di Jember bisa menjadi percikan yang menyala di kota-kota lain di Indonesia. “Semakin banyak orang yang membumikan Al-Qur’an, semakin banyak yang mencetak generasi ahlul Qur’an, insyaAllah negeri ini akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” tutupnya.

Semoga sinergi ini tak berhenti pada diskusi. Tapi benar-benar menjadi pijakan bagi lembaga-lembaga lain untuk membangun pendidikan yang bukan hanya mencerdaskan, tapi juga berhasil menanamkan keimanan kokoh dengan landasan Al Qur’an.