
Ada sebuah ungkapan bijak yang menyatakan, “Pahlawan itu pilihan, bukan keturunan.” Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa nama-nama besar yang tercatat dalam tinta emas sejarah bukanlah orang-orang yang lahir karena garis keturunan, melainkan mereka yang memilih untuk menjadi pejuang.
Lihatlah kisah-kisah kepahlawanan para perintis kemerdekaan Republik Indonesia di masa penjajahan. Tengoklah pula para penakluk wilayah kekuasaan Islam di masa lalu. Nama-nama besar seperti Thariq bin Ziyad penakluk Andalusia pada tahun 711 M, dan Umar bin Khattab bersama pasukan Islam yang dipimpin Abu Ubaidah bin Jarrah dan Khalid bin Walid, berhasil membebaskan Baitul Maqdis dengan mengepung Yerusalem pada tahun 637 M. Peristiwa itu membuat Uskup Agung Sophronius menyerahkan kunci Baitul Maqdis secara langsung kepada Umar bin Khattab melalui Piagam Perdamaian Yerusalem yang dikenal dengan Amanah Al-‘Uhda Al-‘Umariyyah.
Peristiwa yang serupa terulang pada masa Perang Salib. Setelah Yerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib selama 90 tahun, muncullah sosok Salahuddin Al-Ayyubi (Saladin), yang merebutnya kembali dalam Pertempuran Hittin tahun 1187 M. Begitu pula Muhammad Al-Fatih (Sultan Mehmed II), yang menaklukkan Konstantinopel dan mengakhiri Kekaisaran Bizantium yang telah bertahan lebih dari 1.000 tahun, sebuah misi yang disebut dalam nubuwah Rasulullah ﷺ.
Deretan pahlawan Islam tidak berhenti sampai di situ. Ada Amr bin Ash, penakluk Mesir dan pendiri kota Fusthat (sekarang Kairo), Musa bin Nushair, Gubernur Afrika yang mengirim Thariq bin Ziyad ke Spanyol, dan Nuruddin Zanki, pelopor perjuangan pembebasan Baitul Maqdis sebelum Salahuddin. Mereka semua adalah orang-orang yang memilih untuk berada di barisan terdepan perjuangan Islam. Karena itu, nama mereka layak diukir dalam sejarah.
PAHLAWAN ADALAH PILIHAN, BUKAN WARISAN
Islam tidak hanya mengajarkan ibadah individual, tetapi juga menanamkan nilai keberanian, pengorbanan, dan perjuangan di jalan Allah. Dalam sejarahnya, Islam lahir dan tumbuh melalui perjuangan para Nabi dan sahabat. Mereka tidak dilahirkan sebagai pahlawan, tetapi dipilih dan memantaskan diri menjadi pahlawan karena tekad dan keimanan.
Allah ﷻ berfirman:
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
(QS. Ali Imran: 169)
Tidak ada keturunan eksklusif untuk menjadi pahlawan. Setiap mukmin, apa pun latar belakangnya, berpeluang menjadi pembela Islam, penggerak kebaikan, dan penjaga tempat suci. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut kata “pilihan” (اصطفى) sebagai bentuk kehormatan yang diberikan kepada mereka yang berjuang dan berkorban.
“Sesungguhnya Allah telah memilih (اصطفى) Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (pada masa mereka).”
(QS. Ali Imran: 33)
MAKNA “ISTHOFA” DALAM AL-QUR’AN
Dalam Tafsir al-Qur’an karya Ibn ‘Athiyyah, kata “ishthofa” (اصطفى) tidak sekadar berarti memilih, tetapi menunjukkan pemilihan istimewa berdasarkan kelayakan dan keutamaan amal. Ibnu ‘Athiyyah menyebut bahwa di dunia ini, Allah memilih beberapa bentuk kemuliaan, dua di antaranya adalah:
Menjadi Penjaga Al-Qur’an
Mereka yang menghafal, mengajarkan, dan membela kemurnian Al-Qur’an adalah pahlawan intelektual dan spiritual umat ini.
Menjadi Pembela dan Pembebas Masjidil Aqsha
Mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam menjaga kehormatan tanah suci ketiga umat Islam. Bentuknya bisa berupa jihad fisik, dakwah, advokasi Palestina, pendidikan umat, atau dukungan dalam bentuk lainnya.
MASJIDIL AQSHA DAN PAHLAWAN MASA KINI
Masjidil Aqsha bukan hanya simbol sejarah, tetapi juga amanah umat Islam sepanjang zaman. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Akan selalu ada dari umatku sekelompok yang membela kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka siapa pun yang menghina atau menyelisihi mereka, sampai datang keputusan Allah sementara mereka tetap teguh.”
(HR. Muslim, Tirmidzi, dan lainnya)
Hadis ini menegaskan bahwa siapa pun berpeluang menjadi pahlawan, dengan mengambil bagian dalam membela kebenaran, menjaga dan merawat amanah umat seperti Masjidil Aqsha yang kini masih dalam penjajahan Zionis.
Siapakah pahlawan itu hari ini?
Mereka bukan hanya pejuang bersenjata. Mereka adalah guru yang mengajarkan sejarah Palestina, aktivis yang menyuarakan keadilan, donatur yang mendukung perjuangan kemanusiaan, ulama dan dai yang membangkitkan kesadaran umat, serta para penghafal Qur’an dan pendukung program-program pendidikan Al-Qur’an.
MEMBENTUK JIWA PAHLAWAN
Setiap Muslim bisa menjadi pahlawan, dengan cara memantaskan diri memiliki iman yang kokoh, ilmu yang bermanfaat, dan kontribusi nyata untuk umat. Bahkan dengan doa dan dukungan, itu pun menjadi bagian dari perjuangan.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.”
(QS. At-Taubah: 111)
Menjadi penjaga Al-Qur’an dan pembela Masjidil Aqsha bukanlah mimpi. Ini peran nyata yang bisa diperjuangkan dari sekarang. Walaupun hari ini Anda merasa belum mampu menghafal Al-Qur’an atau membebaskan Al-Aqsha secara langsung karena usia atau keterbatasan, yakinlah bahwa dengan mendukung program pendidikan kader da’i dan hafidz Al-Qur’an, seperti melalui program Orang Tua Asuh yang digagas LMI Ibnu Katsir, Anda telah mengambil peran penting dalam perjuangan Islam.
Termasuk juga mendukung kemerdekaan Palestina dengan menyumbangkan harta, tenaga, atau pikiran merupakan bentuk kontribusi sederhana namun berarti. Mereka yang ikut memakmurkan Masjidil Aqsha dan berjuang membebaskannya, adalah bagian dari orang-orang pilihan Allah, sebagaimana disebut dalam Tafsir Ibnu ‘Athiyyah.
Inilah kesempatan terbuka bagi kita untuk dicatat dalam sejarah sebagai pahlawan zaman ini, sampai tibanya masa di mana Baitul Maqdis kembali ke pangkuan Islam, in sya Allah.
“Jangan tanyakan mengapa belum lahir Salahuddin Al-Ayyubi baru. Tapi tanyakanlah: sudahkah engkau menyiapkan jiwamu menjadi Salahuddin hari ini?”
Wallahu a‘lam bish-shawab.