Resume materi ustadz Habibi Hamzah, Ld., M.Pd oleh Salamah, mahasantriwati Ibnu Katsir 2
Bulan Muharram adalah bulan yang sangat dimuliakan dalam Islam. Ia termasuk dalam empat bulan haram (suci) yang disebutkan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36)
Ayat ini menegaskan bahwa jumlah bulan dalam satu tahun menurut perhitungan Islam adalah dua belas, sebagaimana ditetapkan oleh Allah sejak penciptaan langit dan bumi. Dari dua belas bulan tersebut, empat di antaranya termasuk bulan haram (الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ), yaitu bulan yang dimuliakan dan dilarang melakukan peperangan di dalamnya, kecuali jika diserang terlebih dahulu. Keempat bulan itu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Allah menjadikan empat bulan tersebut sebagai bulan-bulan haram karena memiliki keistimewaan, keutamaan, dan kehormatan yang sangat tinggi. Maka, di bulan-bulan ini, kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak amal saleh, menjauhi dosa dan permusuhan, serta memperkuat ketakwaan kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim no. 1163)
Hadits ini menunjukkan bahwa Muharram memiliki nilai ibadah yang tinggi, terutama dalam hal puasa. Disebut sebagai syahrullah (bulan Allah), karena Muharram mengandung nilai dan kedudukan mulia di sisi-Nya. Menurut Imam Al-Qurthubi, “Tidaklah suatu makhluk disandarkan kepada Allah kecuali ia mengandung kemuliaan khusus.” Artinya, penyandaran nama bulan ini kepada Allah adalah isyarat bahwa bulan tersebut memiliki kedudukan istimewa dalam Islam.
Bulan Muharram juga menjadi saksi berbagai peristiwa besar dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW. Beberapa peristiwa penting tersebut memperlihatkan kesabaran, kekuatan iman, perjuangan, dan pertolongan Allah terhadap Nabi dan para sahabatnya.
Muharram juga merupakan momentum refleksi terhadap peristiwa-peristiwa besar yang dialami oleh Rasulullah SAW, terutama selama fase-fase awal dakwah Islam. Beberapa peristiwa penting tersebut adalah:
1. Tahun ke-7 Kenabian: Boikot Sosial di Syi’b Abu Thalib
Pada tahun ketujuh kenabian, tepatnya di bulan Muharram menurut banyak riwayat, kaum Quraisy membuat kesepakatan untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib karena terus melindungi Nabi SAW. Selama tiga tahun, Nabi dan para pengikutnya dikucilkan di Syi’b Abu Thalib, tanpa akses makanan dan perdagangan. Mereka bertahan hidup dengan makan daun-daunan. Dalam kondisi ini, kesabaran dan keteguhan Nabi serta sahabat benar-benar diuji.
Menurut riwayat Ibnu Hisham, surat perjanjian boikot digantung di Ka’bah. Namun setelah tiga tahun, sekelompok pemuda Quraisy yang mulai simpati kepada Nabi—termasuk Hisham bin Amr, Zuhair bin Abi Umayyah, dan Mut’im bin Adi—menyuarakan penolakannya. Saat surat itu dibuka, diketahui bahwa rayap telah memakan hampir seluruh teks kecuali nama Allah, yang menjadi tanda bahwa Allah sendiri tidak meridhai perjanjian tersebut.
2. Masuk Islamnya Hamzah dan Umar bin Khattab
Di tengah kondisi berat itu, dua figur penting masuk Islam dan memperkuat posisi umat Islam. Pertama adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi, yang masuk Islam karena marah melihat penghinaan Abu Jahal terhadap keponakannya. Ia berkata dengan tegas, “Apakah kamu mencaci Muhammad padahal aku berada di atas agamanya? Aku membelanya dan membenarkannya!” (Sirah Ibnu Hisyam). Sejak saat itu, Hamzah menjadi pelindung dakwah Islam dengan keberaniannya yang luar biasa.
Kedua adalah Umar bin Khattab RA, yang sebelumnya dikenal sebagai musuh Islam yang keras. Suatu hari, setelah membaca beberapa ayat dari Surat Thaha yang menyentuh hatinya, Umar mengalami perubahan batin yang besar. Ia pun pergi ke rumah Darul Arqam dan menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah dan para sahabat. Masuknya Umar bin Khattab menjadi titik balik penting dalam sejarah dakwah, karena beliau segera menyatakan keislamannya secara terbuka. Dalam riwayat disebutkan bahwa setelah Umar masuk Islam, kaum Muslimin mulai berani menampakkan ibadah mereka secara terang-terangan di sekitar Ka’bah.
Kehadiran Hamzah dan Umar menjadi tameng dan kekuatan baru bagi umat Islam. Dengan keberanian mereka, kaum Muslimin mendapatkan perlindungan fisik dan moral yang sangat berarti dalam menghadapi tekanan Quraisy.
3. Tahun ke-10 Kenabian: Aam al-Huzn (Tahun Dukacita)
Setelah masa boikot berakhir, ujian besar kembali datang kepada Rasulullah SAW. Pada tahun ke-10 kenabian, dua orang terdekat dan paling berpengaruh dalam hidup beliau wafat dalam waktu yang berdekatan: pamannya Abu Thalib, yang selama ini melindunginya dari tekanan Quraisy, dan istrinya tercinta Khadijah binti Khuwailid, yang menjadi sumber ketenangan dan pendukung setia dalam setiap langkah dakwah. Tahun ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai Aam al-Huzn atau Tahun Dukacita.
Kehilangan dua sosok penting ini sangat mempengaruhi kondisi psikologis Nabi SAW. Tanpa pelindung di Makkah, beliau menjadi lebih rentan terhadap tekanan dan ancaman dari kaum Quraisy. Khadijah, yang selama ini menjadi tempat beliau mencurahkan keluh kesah dan pendukung moral serta materi, tidak lagi ada di sisi beliau. Namun, meski dalam kesedihan yang mendalam, Rasulullah SAW tetap tegar melanjutkan dakwah. Beliau tidak berhenti menyeru kepada kebenaran, dan justru semakin menguatkan tekad untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia.
4. Tahun ke-11 Kenabian: Benih Hijrah
Pada tahun ke-11 kenabian, saat musim haji tiba, Rasulullah SAW bertemu dengan enam pemuda dari kota Yatsrib (kelak dikenal sebagai Madinah) di Aqabah. Mereka berasal dari suku Khazraj yang tengah berada di Makkah untuk berhaji. Ketika mendengar dakwah Rasulullah, keenam pemuda tersebut tersentuh oleh ajaran Islam dan kepribadian mulia beliau. Mereka pun menerima Islam dan menyatakan keimanan mereka.
Dalam pertemuan tersebut, mereka juga berjanji akan menyebarkan ajaran Islam kepada kaumnya setelah kembali ke Yatsrib. Peristiwa ini menjadi momen awal yang sangat penting dalam sejarah dakwah Islam, karena dari pertemuan kecil ini kelak akan lahir sebuah komunitas Muslim yang kuat di Madinah. Inilah benih awal hijrah, yang akan menjadi solusi atas penindasan dan tekanan yang dialami kaum Muslimin di Makkah.
5. Tahun ke-12 dan ke-13 Kenabian: Bai’at Aqabah
Pada tahun ke-12 kenabian, 12 orang dari Yatsrib datang menemui Nabi SAW di Aqabah saat musim haji. Mereka menyatakan keimanan dan berbaiat untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, berzina, atau berdusta, serta menyebarkan Islam di kota mereka. Nabi lalu mengutus Mus’ab bin Umair untuk mengajarkan Islam di Yatsrib.
Setahun kemudian, tahun ke-13 kenabian, datang rombongan yang lebih besar: 73 pria dan 2 wanita dari suku Aus dan Khazraj. Dalam Bai’at Aqabah Kedua ini, mereka tidak hanya berjanji untuk taat, tapi juga berkomitmen melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi keluarga sendiri. Bai’at ini menjadi tonggak penting yang membuka jalan bagi hijrah ke Madinah dan terbentuknya masyarakat Islam yang mandiri di sana.
Perjalanan Nabi Muhammad SAW di bulan Muharram mengajarkan kita pentingnya kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi ujian. Di tengah tekanan dan penderitaan, Nabi tetap konsisten dalam dakwahnya. Pertolongan Allah pun datang tepat waktu, seperti saat surat boikot kaum Quraisy dimakan rayap hingga batal dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa ujian besar selalu diikuti dengan bantuan Allah bagi hamba-Nya yang bersabar.
Selain itu, munculnya peran pemuda Yatsrib dan strategi dakwah Nabi yang bertahap menunjukkan kecerdasan dan kekuatan dalam membangun komunitas Islam. Bai’at Aqabah menjadi pintu menuju hijrah dan awal terbentuknya masyarakat Islam Madinah. Muharram sebagai awal tahun Hijriah mengingatkan kita bahwa setiap perjuangan di jalan Allah pasti menemui rintangan, namun akan dimenangkan dengan kesabaran, strategi, dan keyakinan akan pertolongan-Nya.