Kemerdekaan Hakiki Dalam Cahaya Al-Qur'an | Majlis Dhuha Edisi Agustus

Ringkasan materi KH. Baiquni Purnomo oleh Sutri Purnamasari, mahasantri Ibnu Katsir 2

Bulan Agustus pada kalender Masehi identik dengan kemerdekaan, terkhusus bagi Indonesia. Beragam acara dan kegiatan digelar: mulai dari lomba balap karung, beragam cabang olahraga yang dipertandingkan, hingga panjat pinang. Ada juga yang menyelenggarakan zikir dan doa bersama untuk bangsa.

Selain itu, upacara juga dilaksanakan. Semua itu diselenggarakan dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan. Tetapi, benarkah kita sudah merdeka? Jika kemerdekaan dimaknai merdeka dari penjajah, maka bangsa ini memang telah merdeka. Namun, dalam perspektif Al-Qur’an, benarkah suatu bangsa dikatakan merdeka dari segi penjajahan fisik saja? Selama ini, ketika berbicara mengenai kemerdekaan, yang kita pikirkan adalah bebas dari penindasan. Apakah hanya itu makna kemerdekaan yang sebenarnya?

Jika melihat fakta sekarang, sudah banyak kebiasaan yang tidak mencerminkan ajaran Islam. Peradaban Barat yang berdampak negatif dinilai biasa dilakukan, mencakup pendidikan, gaya hidup, serta pola pikir kita, dan itu semakin memengaruhi pola pikir umat Islam. Pemikiran mudah dipengaruhi jika kita tidak memiliki landasan ilmu serta keyakinan yang utuh mengenai peradaban Islam yang sebenarnya. Apakah itu juga termasuk penjajahan? Ketika kita sebagai manusia menyadari tugas dan kewajiban di dunia serta paham hakikat penciptaan manusia, lalu apa kemerdekaan hakiki menurut Al-Qur’an? “Kemerdekaan” adalah sebuah kata yang sering kita dengar, namun makna hakikatnya sering lepas dari pemahaman kita.

Kemerdekaan merupakan sesuatu yang harus kita syukuri dan jaga, sebab memiliki makna yang sangat dalam jika kita kaitkan dengan pemahaman Al-Qur’an. Dalam Islam, kemerdekaan bukan hanya mengenai kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan dari perbudakan hawa nafsu, pikiran yang keliru, dan ketergantungan pada selain Allah SWT.

Kemerdekaan memiliki beberapa pembagian, yaitu:

Kemerdekaan spiritual adalah kebebasan dari perbudakan dan kesyirikan. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

لَآ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam); sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah:256)

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih keyakinannya. Allah SWT telah menjelaskan jalan yang benar dan jalan yang sesat, dan manusia bebas memilih.

Kemerdekaan spiritual juga berkaitan dengan pembebasan dari segala bentuk penghambaan selain kepada Allah SWT. Dengan itu, seseorang dapat menemukan makna kehidupan yang lebih dalam, mengetahui tujuan hidupnya dengan jelas, mencapai kedamaian batin, serta menjadi individu yang bertanggung jawab dan peduli terhadap sesama.

Pada bagian kedua ini menarik, karena telah dijelaskan dalam ayat yang lebih rinci. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Kafirun:1–6, dan secara umum mencakup pada ayat terakhir:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ۝٦

Artinya: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Kemerdekaan dalam beragama berkaitan erat dengan kemerdekaan spiritual. Keduanya tidak memaksakan keyakinan, sebab keimanan merupakan pilihan hati masing-masing individu. Begitu banyak penjelasan dalam Al-Qur’an mengenai jalan yang benar dan jalan yang sesat, sehingga manusia bisa bebas memilih jalannya. Tugas kita adalah menyampaikan, mengajak, serta saling mengingatkan dalam kebaikan. Jika tidak diterima, maka kembali pada QS. Al-Kafirun:6, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” Urusan seseorang beriman atau tidak bukanlah tugas kita.

Dalam konteks ini, kita harus menghormati keyakinan masing-masing dalam beragama, karena Allah SWT juga telah menetapkan adanya perbedaan antara satu sama lain. Jalankan keyakinan masing-masing tanpa mengganggu, menghina, apalagi mencaci kepercayaan orang lain.

Kemerdekaan dalam berpikir penting untuk kemajuan individu dan masyarakat. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surah Al-An’am:50:

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan (rezeki) Allah ada padaku; aku (sendiri) tidak mengetahui yang gaib; dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkannya?’”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW hanya mengikuti wahyu yang diterimanya dari Allah SWT dan tidak mengetahui hal-hal gaib. Dalam akal sehat, kebebasan berpikir tidak ada batasannya. Begitu pun dalam Islam, terdapat perbedaan pendapat—misalnya mazhab Syafi’i, Hanbali, Hanafi, dan Maliki—yang semuanya berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis. Kita harus berpikir dewasa dan berilmu saat menyikapi perbedaan mazhab tersebut, dengan saling menghargai.

Manfaat kemerdekaan dalam berpikir adalah menjadi dorongan bagi umat Islam untuk terus melahirkan gagasan yang memajukan peradaban Islam ke depannya. Teruslah mencari ilmu, karena Al-Qur’an mengajak kita untuk berpikir dalam mencermati berbagai petunjuk yang ada di dalamnya secara lebih luas.

Sebenarnya banyak cara yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan, salah satunya menanamkan dalam diri kebiasaan-kebiasaan baik sebagai wujud kemerdekaan yang hakiki—damai dan tidak terancam. Contohnya, menebarkan salam kepada sesama Muslim agar tercipta kebahagiaan dan keselamatan. Dengan menebar salam, kita merasa lebih memiliki ikatan dan kedekatan antarsesama Muslim. Kita harus melestarikan kebiasaan-kebiasaan baik yang kini dinilai asing, padahal sangat penting.

Maka, sekarang luruskan niat, tekad, dan keinginan yang kuat; hal itu akan mengantarkan kita menjadi pribadi yang taat dan membawa manfaat bagi umat, bukan pribadi yang suka maksiat, mendatangkan azab, dan merugikan umat. Maka hentikan perbuatan buruk, gantilah dengan amal baik; tahan diri untuk tidak melakukan maksiat, dan kuatkan hati untuk melakukan kebaikan sekecil apa pun itu.