Meneladani Nabi Dalam Membentuk Generasi Qur'ani | Majlis Dhuha Edisi September 2025

Ringkasan materi ustadz Agus Salim, S.Pd.I, oleh Deswita Aisyah, mahasantri Ibnu Katsir 2

Setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, umat Islam umumnya memperingati Maulid Nabi sebagai bentuk rasa syukur atas kehadiran sosok paling mulia dan agung di muka bumi beberapa abad silam. Peringatan ini dikenal dengan istilah Maulid Nabi yang rutin dirayakan setiap tahun. Kita sering mendapati istilah Maulid dan Maulud dalam berbagai penamaan hari kelahiran Nabi. Keduanya berbeda dari sisi harakat dan makna: Maulid berarti “waktu kelahiran”, sedangkan Maulud berarti “sosok yang dilahirkan”. Perbedaan ini tidak perlu diperselisihkan, karena keduanya tetap merujuk pada momentum yang sama, yaitu kelahiran sang pembawa risalah.

Perlu diingat, Maulid Nabi bukanlah ibadah khusus, melainkan ekspresi kebahagiaan dan rasa syukur umat Islam atas lahirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penyempurna akhlak manusia dan pembawa risalah Islam. Karena itu, sebagian umat Islam merayakannya dalam berbagai bentuk acara dan kegiatan sesuai tradisi serta kebiasaan masyarakat di daerah masing-masing.

Peringatan Maulid Nabi diadakan untuk menumbuhkan mahabbah (cinta) kepada Rasulullah. Kata hubbun (cinta) dimulai dari huruf ha halqi yang berarti “dari dalam”, dan huruf ba syafawi yang keluar “dari bibir”, mengandung makna bahwa cinta lahir dari hati lalu terbukti melalui ucapan dan amal. Selain berharap keberkahan dan syafaat Nabi, ada pula kisah menarik yang dapat diambil hikmahnya dari peringatan Maulid, yaitu kisah Abu Lahab—paman Rasulullah sekaligus musuh terbesarnya.

Ketika Muhammad bin Abdullah lahir, budak Abu Lahab bernama Tsuwaibah Al-Aslamiyah membawa kabar gembira itu. Hal pertama yang ia tanyakan adalah jenis kelaminnya. Begitu mengetahui bahwa keponakannya berjenis kelamin laki-laki, Abu Lahab sangat bergembira hingga memerdekakan budaknya saat itu juga. Karena itu, Tsuwaibah kemudian menyusui bayi Muhammad, sebelum disusui oleh Halimah as-Sa’diyah, sebagaimana kebiasaan pada masa jahiliyah.

Atas izin Allah, rasa syukur Abu Lahab ini mendatangkan keringanan azab baginya. Dalam riwayat Shahih Bukhari disebutkan bahwa setiap hari Senin—hari kelahiran Nabi—Abu Lahab mendapat keringanan azab kubur, yaitu dapat meminum air dari celah ibu jarinya sebagai bentuk rahmat Allah.

Dari kisah ini, kita bisa mengambil hikmah bahwa bergembira atas kelahiran sosok mulia adalah sebuah kebaikan yang dapat mendatangkan rahmat, bahkan bagi orang kafir sekalipun. Terlebih bagi kita, umat Islam, kebahagiaan atas Maulid Nabi sudah semestinya dibarengi dengan tekad untuk meneladani akhlak beliau. Wallahu a’lam.