Program “Orang Tua Mengajar” di TK Qur’an Ibnu Katsir

Ada hari-hari tertentu dimana suasana kelas di TK Qur’an Ibnu Katsir terasa berbeda. Bukan hanya suara ceria anak-anak yang terdengar, tapi juga tawa para orang tua yang tengah memimpin kegiatan belajar. Ada yang mengenalkan profesinya sebagai dokter gigi, ada yang mengajak anak-anak membuat eksperimen kecil ala apoteker, bahkan ada pula yang berbagi kisah tentang menjadi seorang wirausahawan.

Program ini bukan sekadar kegiatan rutin, melainkan inisiatif yang lahir dari semangat kolaborasi antara sekolah dan orang tua. Ustadzah Anis Rohmatillah, S.Sos., S.Pd., Kepala TK Qur’an Ibnu Katsir, menjelaskan bagaimana ide ini muncul dan berkembang.

“Awalnya kami sudah memiliki program Sekolah Ayah Bunda, sebuah kegiatan parenting di mana para orang tua diberi materi dan bimbingan khusus tentang pengasuhan anak,” jelas beliau. “Namun dalam perjalanannya, kami merasa perlu menghadirkan ayah dan bunda langsung ke kelas, agar anak-anak bisa belajar bersama orang tua dalam suasana yang lebih nyata dan resmi.”

Menurut Ustadzah Anis, kehadiran orang tua di kelas memberikan banyak manfaat. Anak-anak jadi lebih bangga dengan ayah dan bundanya, mereka mengenal profesi orang tuanya secara langsung, dan di sisi lain, orang tua jadi lebih memahami bagaimana kondisi belajar anak-anak di sekolah.

“Banyak dari mereka baru menyadari bahwa mengajar anak-anak itu tidak mudah,” ujarnya sambil tersenyum. “Ketika mereka melihat guru berjuang menjaga fokus anak-anak, menyiapkan bahan ajar, dan tetap sabar menghadapi berbagai karakter, rasa empati dan apresiasi mereka kepada para guru tumbuh luar biasa.”

Program “Orang Tua Mengajar” ini memberikan kebebasan bagi para wali murid. Mereka boleh memilih apakah ingin menggunakan silabus yang disiapkan sekolah atau membawa materi sesuai profesi mereka. Tak jarang, ada yang memilih membawa peralatan dari rumah — seperti dokter gigi yang mengenalkan alat periksa gigi, atau apoteker yang mengajarkan cara meracik obat dengan aman.

“Kami tidak ingin membebani orang tua,” kata Ustadzah Anis. “Kalau mereka tidak sempat menyiapkan bahan sendiri, mereka bisa memakai fasilitas sekolah. Yang penting adalah semangat berbagi dan belajar bersama anak-anak.”

Teknis pelaksanaan program ini diatur secara fleksibel. Jadwal dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antarorang tua dan guru. Bisa satu orang mengajar sendiri, bisa juga dua atau tiga orang bergantian. Bahkan beberapa ayah turut ambil bagian — salah satunya dengan mengajak anak-anak berkunjung ke tempat kerjanya, seperti stasiun kereta.

Sejak pertama kali diluncurkan pada Agustus lalu, antusiasme luar biasa datang dari para orang tua.

“Ada yang sampai bolak-balik ke luar kelas karena bahan ajarnya tertinggal,” cerita beliau sambil tertawa kecil. “Tapi setelah itu mereka bilang, ternyata jadi guru itu benar-benar butuh tenaga dan kesabaran. Mereka pulang dengan rasa kagum dan apresiasi yang besar.”

Semua testimoni yang masuk sangat positif. Para orang tua merasa kegiatan ini mempererat hubungan mereka dengan anak, guru, dan sekolah. Mereka juga lebih semangat mendukung pembelajaran anak-anak di rumah.

“Harapan kami sederhana,” tutup Ustadzah Anis, “semoga kolaborasi ini terus tumbuh. Anak-anak belajar dengan bahagia, orang tua semakin dekat dengan dunia pendidikan anaknya, dan guru semakin kuat dengan dukungan keluarga. Karena pendidikan terbaik selalu lahir dari sinergi antara rumah dan sekolah.”