PAHLAWAN MUSLIM INDONESIA, MENOREH PERJUANGAN DENGAN KEIMANAN | Kajian Ikadi November 2025

Ringkasan kajian Bung Jaka Siswono oleh Nurhaliza Idris, mahasantriwati Ibnu Katsir 2

Sepertiga Al-Qur’an adalah kisah. Dan kisah bukan sekadar masa lalu, ia adalah cermin untuk menata langkah esok hari. Sebab manusia, setiap dari kita, datang dengan cerita. Begitu pula para nabi yang diuji oleh kaum dan zaman mereka. Melalui berbagai ujian, kejatuhan, perjuangan hingga kemenangan. Begitulah para nabi, para salihin, dan para pahlawan bangsa ini menorehkan jejaknya.

Di antara lembar-lembar sejarah Nusantara, kita mendapati bahwa kemerdekaan tidak lahir hanya dari gencatan senjata semata, tetapi dari jiwa-jiwa yang disirami iman. Ada ulama yang memegang obor dakwah, ada santri yang memikul amanah jihad, ada rakyat yang menguatkan tekad dengan doa di tengah malam. Semuanya menyatu dalam kisah, dan jejak perjuangan.

Islam menyapa Nusantara dengan kelembutan, melalui para pedagang dan dai nan berakhlak mulia. Berdasarkan banyaknya teori seperti Gujarat dan India. Dakwah dilakukan dengan tutur yang halus, pendekatan kekeluargaan, dan keteladanan—hingga akhirnya Islam menjadi cahaya mayoritas di negeri ini.

Benarkah Nusantara Dijajah 3,5 Abad & Mengapa Nusantara Lama Merdeka?

Selama tiga setengah abad — inilah jawaban yang umum kita dengar. Namun akhir-akhir ini muncul serangan pemikiran (ghazwul fikr) yang mencoba membelokkan sejarah: bahwa Indonesia sebenarnya tidak dijajah, karena terdapat catatan pembayaran gaji dari Belanda kepada rakyat, yang kemudian dikorupsi oleh segelintir elite pribumi.

Benar, kasus seperti itu memang ada, namun jumlahnya sangat kecil. Dibandingkan dengan fakta kolonialisme Belanda yang sangat sistematis—penindasan, eksploitasi, penguasaan wilayah, dan adu domba—teori tersebut sama sekali tidak sebanding.

Perhitungan 350 tahun penjajahan merujuk pada momen ketika Cornelis de Houtman pertama kali mendarat di Banten pada Juni 1595 hingga proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Kolonial belanda awalnya mendirikan perserikatan dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang pada akhirnya menuai kolonialisai sebab keserakahan para tokohnya. VOC menggunakan strategi sistematis: adu domba, penguasaan bertahap, eksploitasi SDA, dan keunggulan teknologi. Nusantara sendiri kala itu masih bersifat kedaerahan dan bergantung pada tokoh-tokoh lokal.

Alhamdulillah, Allah masih menjaga negeri ini dari nasib tragis seperti yang telah menimpa penduduk asli Amerika—yang mana tersapu oleh kedatangan Columbus—atau seperti nasib bangsa Aborigin yang kini asing di tanah leluhurnya sendiri.

Penjajahan itu menyakitkan, tetapi yang.lebih menyakitkan adalah bagaimana para pejuang kita dicap sebagai ekstremis oleh penjajah. Padahal merekalah putra-putri terbaik yang menjaga marwah negeri seperti diantaranya ; Cut Nyak Dien yang teguh, Teuku Umar yang cerdik, Imam Bonjol yang kokoh dalam iman juga sikapnya dan masih banyak lagi.

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran para ulama dan tokoh-tokoh Islam. Keimanan mereka menjadi, sumber kekuatan, dan motor penggerak perlawanan bangsa.
Pada tahun 1966, Bung Karno berpidato dengan tegas: “JAS MERAH — Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Seorang ulama pun menambahkan sebuah pesan penting: “JAS HIJAU — Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama.” Pesan ini bukan untuk menandingi JAS MERAH, melainkan untuk menegaskan bahwa peran ulama sangat besar dalam perjalanan kemerdekaan bangsa. Selain itu di masa kini pun, masih ada pihak-pihak yang selalu berusaha mengkriminalisasi Islam dan para ulama.

Selaras dengan momentum penting yang terjadi di bulan November 1945—perlu kita ingat kembali sejarah juang seorang Bung Tomo, sang jurnalis, nahdliyin,serta aktivis ulung yang mampu membakar semangat jihad dengan orasinya. Kalimat ikoniknya: “Allahu Akbar… “ menggetarkan hati dan menggugah santri-santri dari berbagai penjuru negeri. Sepertihalnya dalam Qs. Al-Anfal ayat 2 “innamal mu’minūna alladzīna idza dzukirallāhu wajilat qulubuhum…” yang artinya; “Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka…”

Saat itu, KH Mahrus Ali dari Lirboyo Kediri mengutus para santrinya—bahkan memberikan pelatihan khusus—untuk bergabung dengan pasukan Bung Tomo, semua karena seruan Resolusi Jihad dari KH Hasyim Asy’ari. Dalam banyak buku sejarah tertulis “arek-arek Suroboyo”, padahal banyak di antaranya ada banyak santri yang datang dari berbagai penjuru dengan niat jihad membela tanah air.

Yang tak kalah heroiknya—Jenderal Sudirman, meski mengidap penyakit TBC yang parah, tetapi beliau tetap memimpin perang gerilya. Ketika bertemu Bung Karno, beliau menegaskan tekadnya untuk terus berjuang. Strategi gerilyanya selaras dengan prinsip Al-Anfal ayat 16 yang artinya; “Maka barang siapa pada hari itu membelakangi mereka (mundur dari medan perang), kecuali karena siasat perang atau hendak bergabung dengan pasukan lain, sungguh ia kembali dengan kemurkaan dari Allah, dan tempat kembalinya adalah Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” Strategi ini mirip dengan metode perang Rasulullah ﷺ—bahkan hingga saat ini masih digunakan oleh para pejuang di Palestina.
Pesan Untuk Generasi Masa Kini

Bung Karno pernah berpesan ; “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah.
Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kini musuh kita bukan lagi penjajah bersenjata, tetapi: kelemahan diri, pecahnya ukhuwah, hilangnya teladan, dan mudahnya menjual nilai demi dunia yang sementara.

Generasi hari ini makin kekurangan teladan. Karena itu, iman yang meneguhkan, ilmu yang menerangi, ukhuwah yang menguatkan, dan kisah-kisah mulialah yang harus betul-betul kita wariskan kepada anak-anak kita. Agar mereka tumbuh menjadi generasi yang tidak silau oleh dunia, namun sebagai penjaga kehormatan bangsa dan agama.

Sebab setiap kisah yang baik adalah doa, dan setiap doa yang hidup adalah jalan menuju keberkahan.