Sebagaimana dua bulan sebelumnya, Muharram merupakan salah satu bulan haram diantara empat bulan lainnya.
Allah ﷻ telah menjelaskan dalam kitab suci Al-Qur’an,
“Seseungguhnya bilangan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu dzalim terhadap diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Surah At-Taubah ayat 36.
Lantas apakah di bulan-bulan lainnya kita diperbolehkan untuk berlaku dzalim? Tentu tidak! K.H. Abdul Aziz memaparkan bahwa ini merupakan salah satu cara Allah untuk menegaskan kepada seluruh umat muslim bahwa barang siapa yang melakukan kemaksiatan di bulan haram, maka Allah akan lipat gandakan dosa dan balasannya. Hal ini mampu kita jadikan patokan bahwa tidak hanya pahala yang Allah lipat gandakan, akan tetapi Allah juga akan menjanjikan adzab bagi para hambaNya yang melanggar syaria’t atau ketentuan Islam.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Baginda Nabi Rasulullah SAW. Perkara puasa yang paling afdhal,
”Setelah puasa Ramdhan yakni puasa yang terdapat dalam bulan Muharram”, jawab Rasulullah SAW.
Ternyata terdapat satu fakta yang unik, dimana kaum Yahudi juga melakukan puasa pada tanggal 10 Muharram sama seperti yang dilakukan umat muslim.
“Hari ini adalah hari dimana Allah selamatkan Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun, maka bentuk dari rasa Syukur kita yakni dengan berpuasa.”, ujar mereka.
Jika kaum Yahudi saja memuliakannya, maka kita sebagai seorang muslim, harus lebih memuliakannya.
Maka dalam Hadist Muslim, Rasulullah menganjurkan kita untuk berpuasa sehari sebelum hari Asyuro, atau sama dengan hari Tasyu’a (9 Muharram) untuk membedakan corak puasa kita dengan orang Yahudi.
Dari sekian banyak amal shalih, mengapa puasa menjadi ibadah yang paling istimewa di bulan bulan haram? Karena di bulan Muharram, selayaknya bagi orang yang mendapat nikmat, rasa syukur mampu diaplikasikan dengan berpuasa sebagaimana yang diajarkan oleh para Nabi terdahulu.
Selain itu mendapat keutamaan berupa pengampunan dosa selama satu tahun sebelumnya.
Begitu pula pada bulan Dzulhijjah, mengapa puasa menjadi amalan andalan bagi umat muslim terlebih yang masih belum diberi kesempatan untuk berkunjung ke Baitullah, karena meski tidak sedang beribadah haji, kita mendapat ganjaran berupa ampunan selama setahun sebelum dan setahun sesudahnya jika melakukan puasa Arafah, tentunya dengan maksud untuk tidak menyengaja akan melakukan kemaksiatan setelahnya.
Merupakan sebuah nikmat yang wajib untuk kita syukuri sekarang, dimana kita masih ditakdirkan untuk menjadi pengikut Rasulullah SAW. meski tanpa sezaman dengan Beliau.
Rasulullah mengungkapkan orang yang hidup dan berdekatan dengan beliau sebagai seorang sahabat, sedangkan bagi umat yang berada jauh dan tidak sezaman dengan beliau adalah sebagai seorang saudara.
Lantas bagaimana Nabi mampu mengenal kita kelak di padang Mahsyar jika bertemu saja tidak pernah? Cara beliau untuk mengenali siapa umatnya yaitu dilihat dari bagian anggota tubuh seseorang yang terkena wudhu, ia akan bercahaya dan berseri kelak di akhirat.
Kita tidak bisa dekat dengan fisik Rasulullah, maka dekatlah dengan Al-Qur’an, jika tidak bisa dekat dengan Allah maka dekatlah dengan yang dicintaiNya.
“Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, (dan) barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan bahkan, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka.”(H.R. Al Hakim)