
Semua berawal dari Safari Ramadhan di Sangatta. Acara yang dikoordinasi oleh Masjid Darussalam bekerja sama dengan KPC (Kaltim Prima Coal) itu mempertemukan banyak da’i, termasuk perwakilan Pesantren Ibnu Katsir, Kyai Abuhasanuddin. Dari pertemuan sederhana tersebut, jalan panjang menuju kerja sama besar mulai terbuka.
Di sana, para dai dikenalkan dengan Ketua Baznas Kutai Timur. Ternyata, ada cerita menarik: beliau adalah kakak kelas dari Kyai Abu di Pondok Pesantren Karangasem, Paciran, Lamongan. Pertemuan itu berlanjut di rumah Ketua Baznas. Obrolan hangat tentang pentingnya pengkaderan santri kemudian mencetuskan gagasan besar.
Ketua Baznas pun tertarik dengan obrolan tersebut, dan mengajak langsung menghadap Bupati Kutai Timur, Ustadz Ardiansyah. Sambutan Bupati hangat, restu beliau pun diberikan. Dari sinilah langkah kerja sama semakin nyata.
Diskusi-diskusi berikutnya melahirkan kesepakatan perihal program titipan kader dari Sangatta. Tujuannya jelas—mencetak sarjana yang hafal Qur’an, mampu membaca kitab, dan siap mengabdi di tengah masyarakat. Para kader dari SAngatta dikirim ke Jember, lalu “dikembalikan” lagi setelah 4 tahun.
Seluruh biaya pendidikan ditanggung Baznas dengan restu penuh dari Bupati. Untuk menguatkan langkah, Ketua Baznas Kutim melakukan survei ke Baznas Jember dan mendengarkan langsung presentasi tentang program Pesantren Ibnu Katsir. Hasilnya memuaskan, sehingga MoU pun ditandatangani lengkap dengan detail pembiayaan.
Utusan pertama berjumlah lima orang (dua putra dan tiga putri) yang bahkan diantar langsung oleh Ketua Baznas Kutim. Serah terima kader Sangatta keapda Ibnu Katsir ini dilakukan langsung di Kantor Pusat Ibnu Katsir pada 9 Agustus 2025 lalu. Sempat muncul isu miring tentang “Wahabi”, hingga seorang tokoh Baznas datang selama tiga hari untuk memverifikasi. Hasilnya jelas—isu itu tidak benar. Sejak lama, Ibnu Katsir dituduh sebagai lembaga Wahhabi. Tentu saja tuduhan ini tanpa dasar sama sekali, karena secara amaliah harian pun, Ibnu Katsir adalah lembaga yang berlandaskan akidah aswaja.
Meski sempat ada satu santri yang tidak kerasan dan pulang, program tetap berjalan dengan empat santri. Tak lama, satu santri tambahan datang sehingga jumlahnya kembali lima orang.
Pesantren Ibnu Katsir berharap kerja sama ini berlanjut setiap tahun, dengan terus ada tambahan utusan santri dari Kutim. Kelak, para lulusan akan kembali ke daerah asal mereka sebagai agen dakwah, hadir di setiap kecamatan dan kota di Kutai Timur.
Baznas sendiri menitipkan harapan agar pesantren amanah mendidik kader sesuai cita-cita. Mereka ingin para santri pulang sebagai hafidz Qur’an, sarjana yang menguasai kitab, sekaligus siap mengabdi di masyarakat. Ada tambahan harapan yang cukup unik: semoga sebelum kembali, para santri mendapat pasangan hidup sehingga lebih matang saat kembali membangun daerah.
Dari kacamata pesantren, Baznas harus hadir sebagai lembaga yang benar-benar mengelola zakat dari umat untuk umat. Dana zakat, infaq, dan sedekah bukan hanya untuk disalurkan sesaat, melainkan benar-benar untuk memberdayakan—baik di bidang ekonomi maupun ilmu/pendidikan.
Melalui program kaderisasi ini, harapan itu mulai terwujud. Dana umat kembali untuk umat, dalam bentuk generasi baru yang berilmu, berakhlak, dan siap berjuang.