Kepahlawanan Rasulullah ﷺ
Oleh : Moch Ilyas

Dunia bergerak begitu cepat. Dalam derasnya arus perubahan, banyak hal yang dulu dianggap penting kini mudah tergantikan. Hal seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Pada masa Rasulullah SAW, beliau juga menghadapi tantangan besar. Perbudakan merajalela, kezaliman di mana-mana, dan kebodohan dianggap hal biasa. Saat itu masyarakat Arab terbagi dalam dua kelas: para pemimpin kabilah yang kaya dan berkuasa, serta rakyat kecil yang tertindas tanpa hak.

Namun, kemajuan peradaban yang dibangun Rasulullah SAW tidak semata-mata karena jumlah pengikutnya yang banyak. Justru yang beliau ajarkan adalah bahwa kualitas iman dan kesungguhan jauh lebih penting daripada kuantitas. Beliau membentuk pasukan yang kuat secara fisik dan kokoh dalam iman dan tekad. Kisah Perang Badar menjadi bukti. Hanya dengan 313 orang sahabat, umat Islam mampu mengalahkan pasukan Quraisy yang jumlahnya lebih dari seribu. Kemenangan itu bukan semata strategi, melainkan karena keimanan yang teguh dan persatuan yang kuat. Bahkan Allah menegaskan dalam Al-Anfal ayat 65 bahwa satu mukmin sejati bisa setara dengan sepuluh orang musyrik. Artinya, kekuatan spiritual jauh melampaui sekadar jumlah atau kekuatan fisik.

Rasulullah SAW sangat menyadari bahwa perubahan sejati harus dimulai dari dalam diri setiap orang. Beliau tidak pernah puas dengan kondisi yang ada, bahkan ketika Islam sudah mulai berkembang. Beliau terus mendidik sahabat-sahabatnya untuk senantiasa belajar, memperbaiki diri, dan tidak larut dalam hal-hal sia-sia. Beliau mendorong mereka untuk memanfaatkan waktu pada hal-hal yang bermanfaat: menuntut ilmu, beribadah, dan beramal.

Inilah revolusi mental yang beliau bawa. Rasulullah mengubah kebiasaan buruk jahiliyah menjadi akhlak mulia. Beliau bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad). Beliau juga menekankan pentingnya ilmu, “Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim). Lebih dari itu, akhlak yang baik beliau anggap sebagai amal terbaik. Saat seorang sahabat bertanya tentang amal yang paling utama, beliau menjawab, “Akhlak yang mulia.” (HR. Tirmidzi). Revolusi mental inilah fondasi peradaban Islam: peradaban yang berilmu, beretika, dan bermartabat. Masyarakat pun dibebaskan dari takhayul dan keyakinan buta, lalu diarahkan pada pemikiran yang sehat dan sesuai wahyu.

Dalam Islam, Rasulullah SAW menawarkan dua pilihan hidup yang mendasar. Pertama, jadilah pribadi yang kuat dan mandiri: berusaha, berilmu, dan berkarya. Kedua, jangan menjadi pribadi yang tertindas atau mudah dikendalikan, baik oleh orang lain maupun hawa nafsu. Inilah dasar kebebasan sejati yang beliau perjuangkan.

Sejarah mencatat betapa beliau tidak pernah menyerah. Meski ditolak, difitnah, hingga dianiaya, beliau tetap teguh. Selama 13 tahun di Mekah, beliau bersama para sahabat menghadapi siksaan, bahkan boikot. Kisah Bilal bin Rabah yang dipaksa meninggalkan imannya, atau keluarga Yasir yang disiksa hingga syahid, menjadi saksi keteguhan hati mereka. Rasulullah tidak gentar karena yakin bahwa perjuangannya adalah kebenaran. Beliau berjuang bukan demi diri sendiri, melainkan demi membebaskan manusia dari perbudakan dan kebodohan.

Rasulullah juga menanamkan semangat pantang menyerah kepada umatnya. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda, “Seandainya kiamat akan terjadi, sementara di tanganmu ada bibit kurma, maka tanamlah bibit itu.” (HR. Ahmad). Pesan ini mengajarkan untuk terus berkarya dan berbuat baik hingga detik terakhir kehidupan.

Kisah hijrah dari Mekah ke Madinah pun menjadi teladan. Saat bersembunyi di Gua Tsur bersama Abu Bakar, keduanya hampir tertangkap oleh kaum Quraisy. Abu Bakar diliputi rasa takut, namun Rasulullah menenangkan beliau dengan perkataan, “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40). Inilah pelajaran besar: fokus pada Allah dan yakin bahwa pertolongan-Nya selalu ada.

Beliau juga mengajarkan profesionalisme. “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia melakukannya dengan sempurna.” (HR. Baihaqi). Dengan kata lain, setiap amal harus dilakukan sebaik mungkin. Putus asa bukanlah pilihan, karena itu adalah sifat orang-orang yang merugi.

Hidup di dunia hanyalah titipan Allah. Maka, gunakanlah kesempatan untuk memberi manfaat. Pilihan ada di tangan kita: menjadi pribadi yang bermanfaat dan memberi pengaruh positif, atau menjadi pribadi yang terbelenggu nafsu dan keadaan. Ingatlah firman Allah dalam Ar-Ra’d ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Perubahan selalu dimulai dari diri.

Kepahlawanan Rasulullah SAW adalah panduan hidup yang relevan sepanjang zaman. Beliau menunjukkan bahwa perubahan besar selalu bermula dari hal kecil: memperbaiki diri sendiri. Beliau tidak menunggu orang lain, tapi selalu menjadi yang pertama dalam berdakwah, berhijrah, dan memegang teguh prinsip Islam meski ditolak.

Dalam menghadapi hidup, beliau juga mengajarkan kesabaran luar biasa. Saat diusir dari Thaif dan dilempari batu, beliau tidak membalas doa buruk. Sebaliknya, beliau berdoa agar keturunan mereka kelak menjadi orang beriman. Inilah teladan seorang pemimpin sejati: penuh kasih, sabar, dan memikirkan generasi masa depan.

Pada akhirnya, kepahlawanan Rasulullah SAW adalah kemenangan spiritual dan moral atas segala kesulitan dunia. Beliau bukan pemimpin yang haus harta atau kekuasaan, tetapi pemimpin yang mengarahkan umatnya pada jalan kebenaran dan kebahagiaan sejati, di dunia maupun di akhirat.