Pemuda dan Perubahan : Dari Semangat ke Aksi

oleh : Moch. Ilyas

Segala perubahan besar selalu bermula dari jiwa muda yang gelisah melihat keadaan. Bukan dari orang yang sudah puas dengan dunia, tetapi dari mereka yang masih haus akan makna.

Setiap zaman memiliki generasi pembaharu, dan di setiap pembaharuan itu, pemudalah yang menjadi porosnya.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya: … di antaranya seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini bukan hanya pujian bagi anak muda yang rajin beribadah, tetapi juga pengakuan bahwa masa muda adalah masa paling berharga dalam perjalanan iman dan amal. Sebab di masa muda, tenaga masih kuat, cita masih tinggi, dan semangat masih murni dari pamrih dunia.

Namun semangat saja tidak cukup. Sejarah Islam mengajarkan bahwa semangat yang tidak terarah bisa padam sebelum menyala. Maka para pemuda terdahulu tidak berhenti pada niat, tetapi mengubah semangat menjadi gerak teknis — langkah yang nyata, terukur, dan memberi hasil.

Ketika Khilafah Abbasiyah berdiri, dunia menyaksikan salah satu masa paling gemilang dalam sejarah manusia. Di bawah kepemimpinan para khalifah seperti Al-Ma’mun, lahirlah gerakan ilmu yang tak tertandingi. Namun di balik nama besar itu, berdiri ribuan pemuda yang menjadi nadi peradaban, mereka menulis, meneliti, menerjemahkan, dan membangun dengan tangan-tangan muda yang beriman.

Di kota Baghdad, berdirilah Baitul Hikmah (rumah kebijaksanaan). Di sinilah para pemuda Islam menerjemahkan karya-karya Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Namun mereka tidak berhenti pada menyalin. Mereka mengkritik, menyempurnakan, dan menambah pengetahuan itu dengan nilai tauhid.

Al-Khawarizmi, yang pada usia muda menjadi ahli matematika di istana khalifah, menulis kitab Al-Jabr wa al-Muqabalah, dari mana dunia mengenal istilah “aljabar.” Ia tidak hanya menghafal angka, tetapi menata cara berpikir manusia tentang logika dan perhitungan.

Ibnu Sina, di usia remajanya, telah menguasai kedokteran dan filsafat. Dalam Al-Qanun fi al-Tibb, ia menyatukan ilmu medis dengan nilai-nilai moral Islam. Bagi Ibnu Sina, menyembuhkan bukan hanya soal tubuh, tetapi juga hati dan akal.

Sementara itu, Ibnu al-Haytham menatap cahaya bukan sekadar fenomena fisika, tetapi ayat Allah yang bisa dikaji. Ia menulis Kitab al-Manazir, cikal bakal ilmu optik modern, melalui eksperimen yang ia lakukan sendiri, jauh sebelum istilah “metode ilmiah” dikenal di Barat.

Inilah wajah pemuda Abbasiyah, mereka tidak menunggu masa depan datang, tetapi membangunnya dengan pena, tangan, dan doa.

Semua kerja besar itu lahir dari kesadaran iman yang dalam. Mereka tidak memisahkan antara laboratorium dan mihrab, antara ruang belajar dan ruang ibadah. Karena bagi mereka, ilmu adalah bentuk ibadah, dan kerja keras adalah bentuk jihad.

Allah ﷻ berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)

Ayat ini adalah deklarasi kemerdekaan jiwa manusia, bahwa perubahan bukan turun dari langit secara tiba-tiba, tetapi lahir dari manusia yang berani memperbaiki dirinya, mendisiplinkan waktunya, dan menata pikirannya untuk kebaikan.

Pemuda Abbasiyah menjadikan ayat ini sebagai prinsip hidup. Mereka belajar sejak fajar, menulis hingga malam, dan menjadikan setiap hasil karya sebagai bagian dari ibadah. Mereka tahu bahwa iman yang sejati menuntun pada amal yang rapi.

Ketekunan mereka membangun laboratorium, mengatur perpustakaan, dan menyusun sistem pendidikan, menjadi bukti bahwa perubahan sejati tidak datang dari orasi, tetapi dari perencanaan dan kerja kolektif.

Kini, berabad-abad telah berlalu. Bangunan Baitul Hikmah telah tiada, manuskrip-manuskrip kuno banyak yang musnah, namun roh semangat para pemuda Abbasiyah belum mati. Ia menunggu untuk dihidupkan kembali, di dada para pemuda Muslim hari ini.

Kita hidup di zaman digital, di mana ilmu dapat diakses lebih cepat daripada pena para ulama dahulu. Tetapi justru di tengah kemudahan inilah, banyak yang kehilangan arah. Teknologi yang seharusnya menjadi alat membangun umat, kadang berubah menjadi candu yang melumpuhkan semangat.

Padahal dunia menunggu kembali lahirnya para Al-Khawarizmi baru, yang menulis algoritma bukan sekadar untuk mesin, tetapi untuk kemanusiaan.

Dunia medis menunggu para Ibnu Sina baru, yang menjadikan pengobatan sebagai pelayanan dan bukan sekadar profesi.

Dan dunia pendidikan menunggu para al-Haytham baru, yang menjadikan eksperimen bukan sekadar ujian, tetapi ibadah untuk mencari kebenaran.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Al-Hakim, dari Ibnu Abbas)

Hadits ini adalah peringatan sekaligus motivasi, bahwa waktu muda adalah amanah, bukan masa singgah. Dan amanah itu akan ditanya di hadapan Allah, bagaimana kita memanfaatkannya.

Perubahan bukan sekadar wacana atau jargon. Ia menuntut keberanian untuk melangkah, walau langkah pertama sering kali berat. Ia menuntut visi yang jelas, kerja yang terarah, dan kesungguhan yang tidak cepat lelah.

Pemuda yang membawa perubahan bukanlah mereka yang paling kuat, tetapi yang paling konsisten menjaga niat dan tindakan. Bukan mereka yang paling keras berbicara, tetapi yang paling tenang bekerja.

Bangkitlah wahai pemuda Islam, jadikan setiap keterampilanmu bagian dari dakwah. Jadikan setiap karya sebagai bentuk syukur. Karena setiap langkah yang diniatkan untuk kebaikan, akan tercatat sebagai amal yang mengubah dunia.

Allah ﷻ berfirman:

“Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin…” (QS. At-Taubah [9]: 105)

Ayat ini menutup renungan kita dengan satu pesan : “bekerjalah!”. Sebab Allah tidak menilai besar kecilnya hasil, tetapi keikhlasan dan kesungguhan di baliknya.

Maka, mulailah hari ini. Tulislah ide-ide kecilmu, wujudkan dalam aksi nyata. Bukan untuk mencari nama, tetapi untuk meninggikan agama.

Seperti para pemuda Abbasiyah yang menulis sejarah dengan tinta dan iman, kita pun bisa menulis bab baru kejayaan Islam dengan ilmu, karya, dan amal.

Sejarah telah membuktikan, bahwa setiap kali pemuda Islam bangkit dengan semangat dan ilmu, dunia berubah menjadi lebih baik. Maka jangan biarkan masa muda berlalu tanpa jejak. Jangan biarkan potensi besar yang Allah titipkan padamu tidur dalam kenyamanan.

Bangunlah, wahai pemuda. Bawalah perubahan, bukan sekadar dengan suara, tetapi dengan karya yang menjadi doa bagi zaman. Karena masa depan umat ini tidak ditentukan oleh siapa yang paling tua, tetapi oleh siapa yang paling berani memulai.