Sila Pertama Pancasila : Pondasi Moral Bangsa Indonesia
oleh : Moch. Ilyas

Bangsa Indonesia berdiri di atas fondasi luhur yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Salah satu warisan terbesar itu adalah Pancasila, dasar negara yang bukan sekadar dokumen politik, melainkan panduan hidup yang sarat nilai moral dan spiritual. Dari kelima sila yang termaktub, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menempati posisi paling utama. Ia menjadi pondasi yang menopang sila-sila berikutnya, sekaligus penegasan bahwa bangsa Indonesia bukan sekadar kumpulan manusia, melainkan masyarakat yang mengakui kehadiran Tuhan sebagai pusat kehidupan.

Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadikan bangsa Indonesia memiliki dasar moral yang kokoh. Tanpa dimensi ketuhanan, sila-sila lain seperti kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial akan kehilangan makna terdalamnya. Oleh karena itu, memahami sila pertama berarti memahami inti moralitas bangsa, serta kunci untuk membangun masyarakat yang beradab, adil, dan bermartabat.

Dalam pandangan Islam, keimanan kepada Allah Swt. adalah titik tolak segala amal. Al-Qur’an menyatakan:

“وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ”

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thaghut’.” (QS. An-Nahl [16]: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa pengakuan kepada Tuhan adalah nilai universal yang menjadi dasar moral bagi setiap peradaban. Mengakui Tuhan berarti mengakui adanya standar moral yang objektif, tidak tunduk pada hawa nafsu manusia semata.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ”

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Hadits ini mengajarkan bahwa iman tidak bisa dipisahkan dari akhlak. Keyakinan kepada Tuhan melahirkan tanggung jawab moral. Demikian pula sila pertama Pancasila: ia bukan hanya pengakuan formal terhadap keberadaan Tuhan, tetapi juga panggilan untuk menjadikan nilai ketuhanan sebagai dasar perilaku sosial, politik, hukum, dan budaya.

Sila pertama tidak berdiri sendiri. Ia menjiwai dan mengikat sila-sila berikutnya. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mendapatkan kekuatan dari kesadaran bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang harus diperlakukan dengan adil. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menemukan legitimasi dalam ajaran bahwa persaudaraan adalah amanah ilahi. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menuntut pemimpin yang takut kepada Allah sehingga tidak menyalahgunakan kekuasaan. Dan sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, hanya bisa ditegakkan jika masyarakat memiliki ketakwaan kepada Allah yang menolak ketidakadilan dan penindasan.

Al-Qur’an berpesan:

“إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ”

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl [16]: 90)

Ayat ini menjelaskan bahwa setiap kebijakan publik, hukum, dan aturan yang ditegakkan negara seharusnya berakar pada keadilan dan kebajikan yang bersumber dari nilai ketuhanan.

Pancasila lahir melalui perenungan panjang para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI dan PPKI menjelang kemerdekaan tahun 1945. Rumusan awal yang kemudian disepakati menunjukkan betapa para tokoh bangsa menyadari bahwa Indonesia yang majemuk memerlukan dasar negara yang mampu mempersatukan, tanpa menafikan keyakinan keagamaan masing-masing pemeluknya.

Namun perjalanan Pancasila tidak selalu mulus. Ideologi ini pernah diguncang oleh upaya kudeta yang dilakukan Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) tahun 1965. Peristiwa kelam ini menelan korban para pahlawan revolusi dan mengancam eksistensi Pancasila sebagai dasar negara. Akan tetapi, berkat pertolongan Allah Swt. serta perjuangan rakyat Indonesia, Pancasila tetap tegak berdiri.

Untuk mengenang peristiwa itu, setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini bukan sekadar seremonial, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali komitmen bangsa terhadap Pancasila sebagai ideologi final. “Kesaktian” di sini tidak berarti mistis, melainkan menunjukkan bahwa Pancasila terbukti tahan uji, tidak bisa digantikan oleh ideologi lain, dan tetap relevan sebagai pemersatu bangsa.

Dalam perspektif keimanan, kesaktian Pancasila adalah buah dari sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab bangsa yang berpaling dari Tuhan akan rapuh, sementara bangsa yang berpegang pada nilai ketuhanan akan kokoh menghadapi berbagai ancaman. Al-Qur’an menegaskan:

“وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا”

“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran [3]: 103)

Ayat ini sejalan dengan semangat Hari Kesaktian Pancasila: mengingatkan bangsa agar tetap bersatu dengan menjadikan nilai ketuhanan sebagai pengikat utama.

Menjadikan sila pertama sebagai pondasi berarti setiap aspek kehidupan berbangsa harus berlandaskan pada nilai-nilai ilahiah. Korupsi, penindasan, diskriminasi, dan kerusakan lingkungan, semuanya adalah pengkhianatan terhadap sila pertama. Sebaliknya, kejujuran, amanah, keadilan, dan kasih sayang adalah wujud nyata pengamalan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bangsa Indonesia tidak cukup hanya memperingati Hari Kesaktian Pancasila setiap tahun, tetapi harus meneguhkan kembali tekad untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman moral. Tanpa moral ketuhanan, pembangunan hanya akan melahirkan materialisme, sementara dengan moral ketuhanan, pembangunan akan melahirkan peradaban yang berkeadilan.

 

Rasulullah ﷺ memberi teladan:

“الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ”

“Seorang Muslim sejati adalah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa pengamalan iman diwujudkan dalam perilaku yang damai, amanah, dan penuh tanggung jawab sosial.

Sila pertama Pancasila adalah pondasi moral bangsa Indonesia. Ia menegaskan bahwa bangsa ini berlandaskan pada pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan dari pengakuan itu lahir tanggung jawab moral untuk menegakkan kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Sejarah telah membuktikan, melalui Hari Kesaktian Pancasila, bahwa ideologi ini mampu bertahan dari ancaman ideologi lain yang mencoba meruntuhkannya.

Oleh karena itu, tugas kita bersama adalah menghidupkan sila pertama dalam kehidupan nyata: menjadikan politik sebagai sarana menegakkan kejujuran, hukum sebagai jalan menegakkan keadilan, ekonomi sebagai sarana pemerataan, dan budaya sebagai cermin peradaban beradab. Jika bangsa ini setia kepada nilai ketuhanan, maka Indonesia akan tetap kokoh, bermartabat, dan diridhai Allah Swt.