RUKU’: MENGUKIR KETAWADUAN DI HADAPAN MAHA TUNGGAL
Oleh: Inayatullah A. Hasyim
Pengurus Komisi Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Dalam setiap detik shalat, terkandung samudera makna yang kerap terlewatkan. Salah satunya adalah ruku’, sebuah gerakan yang jauh lebih dalam dari sekadar membungkukkan badan. Ia adalah momen ketika seorang hamba melepas mahkotanya, menanggalkan semua gelar duniawi, dan berdiri sebagai ciptaan yang pasrah di hadapan Sang Pencipta. Ia adalah simbol fisik dari ketawaduan hati, sebuah pengakuan nyata bahwa “Engkaulah Yang Maha Besar, dan aku adalah hamba-Mu yang kecil.”

Allah SWT berfirman, menyeru kaum beriman untuk konsisten dalam ketundukan ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Ruku’lah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Hajj: 77).

Ayat ini dengan indah menyambungkan ketundukan ritual (ruku’ dan sujud) dengan ketundukan sosial (berbuat kebaikan), menunjukkan bahwa ketawaduan yang sejati harus melahirkan aksi nyata.

Rasulullah SAW adalah teladan sempurna dalam menghayati esensi ruku’. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَرَكَعَهُنَّ وَسَجَدَهُنَّ وَحَافَظَ عَلَيْهِنَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

“Barangsiapa yang menjaga (shalat) lima waktu, ruku’-ruku’nya, sujud-sujudnya, dan menjaganya dengan sungguh-sungguh, Allah haramkan neraka baginya.” (HR. Ahmad).

Ini adalah jaminan agung bagi mereka yang khusyuk, yang menanamkan ketawaduan dalam setiap lengkung ruas tubuhnya.

Kekhusyukan Nabi dalam ruku’ digambarkan oleh para sahabat begitu mendalam. Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Siapa saja di antara kami yang shalat di belakang Rasulullah SAW, maka ia tidak berani mengangkat kepalanya dari ruku’ atau sujud, karena takut kalau Rasulullah sudah mengangkat kepalanya sementara ia belum.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).

Ini menggambarkan sebuah komunitas yang dipimpin oleh ketawaduan, di mana sang pemimpin begitu khusyuk dan yang dipimpin begitu hormat.

Ketelitian para sahabat dalam menjaga kualitas ruku’ juga luar biasa. Khalifah Umar bin Khattab RA suatu kali melihat seorang pemuda yang ruku’nya tergesa-gesa. Dengan penuh kasih sebagai seorang bapak, beliau menegur, “Wahai pemuda, seandainya engkau mati dengan ruku’ seperti itu, niscaya engkau mati tidak di atas agama Muhammad.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman). Ucapan Umar adalah cermin dari keseriusan generasi terbaik ini dalam memaknai setiap detil ibadah.

Sementara itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA menghidupkan ruku’nya dengan doa dan tangis penuh penyesalan. Beliau sering melantunkan doa dalam ruku’nya, “Allahumma inni zholamtu nafsi zulman katsiira, wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta, faghfirlii maghfiratam min ‘indika, warhamnii, innaka antal ghafuurur rahiim” — “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Di sini, ruku’ menjadi ruang pengakuan dosa dan pencurahan harapan.

Menyelami hal ini, Imam Ibnu Al-Jauzi — seorang ulama yang karyanya membedah relung hati manusia — dalam kitabnya Shaydul Khathir memberikan nasehat yang mendalam: “Hati itu ibarat cermin, syahwat adalah kotoran yang mengotori nya, dan merendahkan diri (tawadhu’) kepada Allah adalah pembersihnya. Ruku’ dan sujud adalah media pembersih yang paling utama.” Kata-katanya mengingatkan kita bahwa ketawaduan bukan hanya sikap pada sesama, tetapi lebih utama adalah kerendahan hati di hadapan Khaliq. Ruku’ adalah latihan harian untuk mengikis karat kesombongan yang melekat pada jiwa.

Maka, marilah kita menyempurnakan ruku’ kita. Bukan hanya melengkungkan punggung, tetapi juga merendahkan hati. Rasakanlah betapa kita kecil di hadapan-Nya, namun betapa besar kasih sayang-Nya yang masih menyertai kita. Dalam setiap kita membungkuk, ingatlah bahwa ketawaduan itu adalah mahkota bagi seorang mukmin. Ia yang tawadhu’ akan diangkat derajatnya oleh Allah, sedangkan ia yang sombong akan direndahkan.

Ruku’ mengajarkan kita untuk sungkan pada Allah. Sungkan untuk bermaksiat, sungkan untuk lalai, dan sungkan untuk tidak mensyukuri segala nikmat-Nya. Ia adalah pengingat bahwa langit ketawaduan harus kita tegakkan di bumi kerendahan hati. Sebab, di hadapan-Nya, kita semua sama — hamba yang ruku’, merendah, dan berharap pada ampunan-Nya.

Wallahua’lam bish-showab