Ramadhan dan Cerminan Akhirat Kita

oleh KH. Sukri Nursalim, S.Pd

Ramadhan telah tiba. Inilah musim ketaatan dan ibadah yang dirindukan oleh para salafus shalih dan orang-orang beriman. Mereka berdoa jauh hari sebelum Ramadhan datang, agar bisa berjumpa dengan bulan yang penuh keberkahan ini. Dengan suka cita, mereka menyambut dan memuliakannya. Tidak ada waktu yang terlewatkan kecuali diisi dengan berbagai ibadah dan amal ketaatan yang mereka lakukan dengan penuh kesungguhan.

Ramadhan adalah puncak kerinduan para salafus shalih. Rasa syukur dan kegembiraan dalam menyambut Ramadhan bagaikan hadiah istimewa yang mereka nantikan. Bagi mereka, Ramadhan merupakan anugerah yang sangat berharga sehingga mereka pun memperlakukannya dengan cara yang istimewa. Ini adalah cerminan dari pemahaman dan keyakinan mereka atas keagungan Ramadhan. Adakah kita seperti mereka?

Ibnu Rajab Al-Hambali menggambarkan bagaimana orang-orang shalih sebelum kita merindukan dan memuliakan Ramadhan. Sebagian salaf berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka dipertemukan lagi dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar Allah menerima amal-amal shalih mereka di Ramadhan yang telah lalu.” (Lathā’iful Ma‘ārif)

Mengapa para salafus shalih begitu merindukan dan memuliakan Ramadhan? Jawabannya adalah karena mereka memahami dengan baik berbagai fadhilah, keutamaan, dan keistimewaan bulan ini. Dengan ilmu dan pemahaman yang mereka miliki, mereka mampu memaknai Ramadhan dalam kehidupan mereka. Apa makna Ramadhan bagi para salafus shalih?

Puasa Menajamkan Visi Akhirat

Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam kitab Fiqih Shiyam menyatakan bahwa Ramadhan merupakan madrasah mutamayyizah (sekolah semesta yang unggul). Ramadhan ibarat lembaga pendidikan yang memberikan tempaan dan pembinaan luar biasa dalam membentuk karakter manusia beriman yang unggul melalui syariat puasa. Ia merupakan tarbiyah ilahiyah (pendidikan Ilahi) yang memiliki nilai-nilai pendidikan luhur.

Salah satu bagian penting dari pendidikan puasa adalah melatih kita menajamkan visi akhirat dan menjaga jarak dengan dunia. Syariat puasa diungkapkan dengan kata shiyam, yang berarti al-imsak (menahan diri). Artinya, melalui ibadah puasa, Allah melatih kita menahan diri dari perbuatan yang awalnya halal, seperti makan, minum, dan berhubungan suami istri, yang menjadi terlarang selama waktu tertentu. Metode imsak dalam ibadah puasa merupakan proses latihan agar kita mampu memisahkan diri sejenak dari ketergantungan dunia dan segala kenikmatannya yang melalaikan.

Di sisi lain, kita sering mengeluh tentang rezeki yang sempit, hidup yang penuh tekanan, dan doa yang seolah tak diindahkan, padahal mungkin ada yang perlu dibenahi dalam batin kita. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata dalam khutbahnya:

“Wahai manusia, perbaikilah urusan akhiratmu, maka Allah akan memperbaiki urusan duniamu. Perbaikilah batinmu, maka Allah akan memperbaiki lahirmu.”

Kita hidup di dunia yang penuh tuntutan. Ambisi, ekspektasi, dan persaingan sering membuat kita lupa bahwa dunia ini fana. Allah SWT telah menetapkan hukum kehidupan:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya. Dan barang siapa menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian darinya, tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (QS. Asy-Syura: 20)

Seberapa sering kita sibuk dengan dunia tetapi mengabaikan akhirat? Seberapa sering kita mengejar kenikmatan sesaat tetapi lupa akan keabadian? Sungguh, ibadah puasa mendidik kita untuk menahan diri dan meninggalkan kenikmatan sesaat demi memilih kenikmatan abadi di akhirat. Allah SWT berfirman:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً

“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS. An-Nisaa’: 77)

Lailatul Qadar dan Sukses Akhirat

Malam Lailatul Qadar merupakan puncak keberkahan Ramadhan. Di dalamnya, Allah menurunkan berbagai keutamaan yang menjadikan Ramadhan sangat istimewa. Pada malam ini, Al-Qur’an pertama kali diturunkan. Inilah momentum penting yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, karena ia merupakan karunia besar untuk meraih kemuliaan akhirat. Beribadah pada malam ini memiliki nilai yang luar biasa. Allah SWT berfirman:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril.” (QS. Al-Qadr: 3-4)

Lailatul Qadar merupakan kemuliaan khusus bagi umat Muhammad yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya. Betapapun umur biologis manusia relatif singkat, yaitu sekitar 60-70 tahun, namun usia ibadahnya dapat melampaui umat lain yang hidup lebih lama. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah memberikan Lailatul Qadr kepada umatku dan tidak memberikannya kepada umat-umat sebelumnya.” (Al-Firdaus bi Ma’tsuril Khithaab, 1/173, no. 647)

Menggapai Lailatul Qadar, Apa yang Harus Dilakukan?

Rasulullah SAW memberikan teladan dalam memanfaatkan puncak keberkahan Ramadhan di malam-malam Lailatul Qadar. Beliau lebih bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, menjauhi tempat tidur, serta memperbanyak doa dan ibadah. Di antara amal yang dianjurkan:

  1. Melakukan i’tikaf di masjid pada sepuluh malam terakhir Ramadhan. (HR. Al-Bukhari, 2026; Muslim, 1172)
  2. Memperbanyak doa dan istighfar, terutama doa: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa‘fu ‘anni. (HR. At-Tirmidzi, 3513)
  3. Menghidupkan malam dengan shalat malam. (HR. Bukhari, 1901; Muslim, 760)
  4. Bersedekah dan berinfaq, terutama pada malam-malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhan. (QS. Al-Hadid: 18)

Semoga Allah menerima amal ibadah kita di bulan suci ini dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mendapatkan keberkahan Lailatul Qadar. Aamiin.