
Tidak ada yang benar-benar menyangka, termasuk Zainab sendiri. Saat pengumuman pemenang lomba Festival Qur’an Prosalina cabang 30 juz dibacakan secara berurutan dari juara 6 hingga 1, Zainab yakin ia mungkin akan mendapat juara 2. Dalam benaknya, hadiah umrah yang menjadi dambaan para peserta sepertinya akan jatuh kepada santri dari Yasinat, yang selama ini dikenal unggul.
Namun ternyata, nama Zainab tidak disebut di posisi juara 2. Saat itulah detik-detik mengejutkan terjadi. “Kok bukan aku? Berarti… juara 1?” gumamnya dalam hati. Ketika namanya benar-benar disebut sebagai juara pertama dan penerima hadiah umrah, ia terdiam, terharu, dan menangis. Ada rasa syukur yang dalam, tetapi juga rasa tak percaya dan tidak pantas.
“Aku merasa belum layak. Masih banyak dosa, masih sering khilaf kepada teman, guru, bahkan kepada diri sendiri. Tapi Allah Maha Baik… Allah tetap kasih hadiah ini,” tutur Zainab dengan mata berkaca-kaca.
Selama mengikuti proses pembinaan di bulan Ramadhan di Masjid Roudhatul Mukhlisin Jember, Zainab merasa jauh dari kata sempurna. Ia masih sering melakukan kesalahan dalam hafalan, salah bacaan, bahkan pernah keliru pada bagian-bagian ayat yang mirip (mutasyabihat). Namun baginya, semua keberhasilan ini adalah buah dari doa dan bimbingan guru, sahabat, dan terutama orang tua.
Dari awal, Zainab tidak memasang harapan tinggi. Ibunya bahkan mengingatkan, “Walaupun ada hadiah umrah, jangan pernah niat untuk mengincarnya. Jadikan ini ajang evaluasi hafalan dan bentuk ta’dhim (penghormatan) kepada ustadzah.” Pesan itu selalu diingatnya. Bahwa keberangkatan umrah—jika terjadi—adalah murni bonus dari Allah atas perjuangan bersama Al-Qur’an.
Namun, justru karena merasa belum layak itulah, momen diumumkannya nama Zainab menjadi sangat menggetarkan hatinya. Ia merasa berada di antara peserta lain yang jauh lebih muda, suaranya lebih merdu, dan bacaan lebih indah. “Aku merasa paling tua. Mereka masih kecil, tapi hafalannya sudah mantap. Aku minder banget,” akunya.
Kekhawatiran itu juga muncul karena acara disiarkan oleh radio Prosalina dan bisa jadi didengar oleh sesama santri pondok, bahkan oleh para ustadzah. Rasa takut salah baca, gugup karena bacaan tidak sempurna, membuatnya merasa sangat malu. “Aku merasa belum pantas membawa nama pondok. Takut mengecewakan,” katanya lirih.
Dalam proses murojaah (mengulang hafalan), Zainab mengaku tidak memiliki metode khusus. Ia hanya berusaha menjalani saran-saran dari ustadzah, seperti murojaah bil ghoib (tanpa melihat mushaf) dan langsung mengevaluasi bagian-bagian yang masih ragu. Saat salah atau keliru, ia tidak langsung membuka mushaf, tetapi berusaha keras mengingat sendiri. Jika benar-benar buntu, barulah ia mengganti dengan ayat atau surat lain.
Zainab juga terbiasa menghubungkan hafalan dengan ibadah. Misalnya, ketika akan sholat, ia menyusun niat untuk membaca halaman tertentu yang sebelumnya dirasa masih kurang lancar. Dengan begitu, semangat murojaah tidak hanya hadir di waktu-waktu belajar, tetapi juga dalam ibadah harian. “Kalau cuma baca juz 30 saat sholat, rasanya biasa aja. Tapi kalau mau baca halaman yang kemarin masih salah, semangatnya beda,” ujarnya.
Namun, ia jujur mengakui bahwa semangat itu belum sepenuhnya stabil. Ketika kelelahan atau banyak kegiatan, murojaah pun masih sering bolong. Tapi baginya, itu menjadi bahan evaluasi untuk lebih istikomah ke depan.
Baginya, kunci terpenting dalam perjuangan menghafal dan murojaah Al-Qur’an bukan hanya usaha, tapi juga doa. “Usaha tanpa doa itu bohong,” ucapnya tegas. Ia merasa doa orang tua dan guru jauh lebih kuat dibanding doa dirinya sendiri. Bahkan sebelum mengikuti pembinaan, ia selalu menyempatkan menelepon sang ibu untuk meminta doa. “Ketika sudah didoakan orang tua, rasanya lebih tenang dan yakin. Seakan-akan Allah sudah menyiapkan yang terbaik,” ungkapnya.
Kisah Zainab menjadi pengingat bahwa perjuangan bersama Al-Qur’an bukanlah tentang kesempurnaan hafalan atau keindahan suara. Ini tentang keikhlasan, kesungguhan, rasa rendah hati, dan pengakuan akan kekurangan diri. Karena pada akhirnya, hadiah sejati dari Al-Qur’an adalah ketika Allah memilih seorang hamba-Nya untuk dimuliakan—meski ia sendiri merasa belum pantas menerimanya.